Tulungagung (pilar.id) – Siapa yang banyak menghasilkan sampah? Perempuan. Demikian “tuduhan” tersebut dilayangkan. Alasannya, perempuanlah yang memiliki banyak aktivitas yang berpotensi menghasilkan sampah plastik. Mulai dari kegiatan personal hingga urusan domestik.
Seas of East Asia Circular UNEP dalam laporan Marine plastic litter in East Asian Seas: Gender, human rights and economic dimensions menyebutkan bahawa di Eropa, perempuan membeli barang domestik seperti makanan, pakaian, obat-obatan, kosmetik dan barang-barang rumah tangga lebih sering daripada laki-laki.
Sebaliknya, laki-laki membeli barang yang lebih mahal seperti mobil dan peralatan elektronik. Dalam hal permintaan global, sekitar 21,7 persen plastik digunakan peralatan rumah tangga, furnitur, peralatan olahraga dan barang-barang medis.
Hal ini menjadikan perempuan lebih banyak memproduksi sampah plastik dibanding dengan laki-laki. Menurut data statistik OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development), sampah plastik dari kemasan sebanyak 4 kali lipat dengan sampah plastik dari sumber lain termasuk elektronik dan mobil.
Sementara dalam pengelolaan sampah, pemulung lebih banyak laki-laki. Data US Bureau of Labor Stats and Census menyebutkan bahwa 99 persen pemulung adalah laki-laki. Hal ini disebabkan bahwa perempuan lebih banyak merasa jijik dan kotor untuk melakukan pekerjaan ini.
Hal ini menjadi fenomena menarik sebab setelah sampah dikumpulkan oleh pemulung, ada banyak peran perempuan di dalam lingkaran daur ulang sampah plastik.
Bukan hanya daur ulang menjadi produk lain, namun mengembalikan sampah plastik ke bentuk semula sehingga tidak ada sampah lagi dengan konsep ekonomi sirkular.
Tempat Perempuan Memberdayakan Diri
Endang, 42 tahun, tentu tidak akan menyangka jika perjalanan hidupnya akan ‘belabuh’ di sampah sebagai mata pencahariannya. Sore itu, di Bangoan Collection Center, Desa Bangoan, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Endang masih ingin melanjutkan pekerjaannya.
Ia membersihkan botol plastik dari label kemudian memasukkannya ke karung. Satu karung dan satu karung lagi hingga pukul 16.00 WIB, atau secapeknya. Dalam sehari, ia bisa mendapatkan Rp 40 ribu dari pekerjaan ini. Upah yang dibayarkan setiap akhir minggu.
Jumlah yang mungkin di bawah penghasilannya ketika ia merantau ke Batam menjadi TKW. Menurutnya, meski hasilnya lebih sedikit, ia merasa lebih bahagia.
“Dekat dengan suami dan dekat dengan rumah, jadi tidak perlu bayar sewa,” katanya. Endang memang bukan tulang punggung keluarga kecilnya. Namun pekerjaan ini mampu menjadikannya bisa ikut berkontribusi ekonomi untuk keluarga kecilnya.
Lain halnya dengan Trigeni, 50 tahun. Ia menjadi tulang punggung keluarga sejak suaminya meninggal. Sebelum bekerja memilah sampah, Trigeni menjadi buruh tani dengan penghasilan tidak menentu.
Kadang ia harus berutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pun kini tidak sekuat dulu. Janda dan akhir usia produktif bila bekerja di pabrik menjadikan ia tak punya banyak pilihan.
Sampai akhirnya bergabung di Bango Collection Center dengan penghasilan Rp 2,5 juta hingga 3 juta per bulan. Lebih dari lumayan baginya. Apalagi di sini, tempat ia bekerja juga menjamin BPJS.
Bango Collection Center juga menjadi alternatif bekerja bagi para perempuan usia senja yang masih butuh atau ingin bekerja. Salah satunya Binti, 51 tahun, yang sudah tak kuat lagi bekerja di sawah.
“Sudah 3 tahun bekerja di sini. Saya sudah punya cucu. Bahagia kalau bisa memberikan sesuatu untuk cucu,” katanya. Setiap kali gajian pada akhir minggu, ia membawa pulang Rp 300 ribu hingga Rp 350 ribu.
Rata-rata perempuan yang bekerja di tempat ini tidak memiliki target. Sistem borongan menjadikan mereka menetapkan target untuk dirinya sendiri. Tiap hari bekerja dari pukul 07.00 WIB-16.00 WIB.
“Ketika saya mendirikan Bangoan Collection Center, saya tidak berpikir tentang lingkungan dan pemberdayaan perempuan. Murni bisnis di bidang sampah. Namun semakin ke sini, saya menyadari bahwa bisnis ini bisa melakukan lebih dari sekadar uang setelah saya diajak kerjasama dengan Danone dan Veolia,” kata Tris Widiatmoko, pendiri dan pemilik Bango Collection Center.
Ia memulai usahanya tahun 2014. Pendidikan formalnya di Teknik Industri membuka pemahamannya tentang potensi ekonomi luar biasa dari bisnis sampah.
Namun selama ini yang merasakan hanya pemilik usaha saja. Sampai akhirnya ia menyadari, ada yang bisa dilakukan dari bisnis ini.
“Tadinya pekerja hanya dianggap sebagai latar saja. Lalu ada kesamaan visi dan misi dengan PT Danone, makanya kami kolaborasi. Minimal bikin karyawan lebih care terhadap lingkungan,” kata Moko.
Moko tak hanya memberi kesempatan bekerja pada para perempuan namun juga berharap dari mereka akan menyampaikan perubahan paradigma tentang sampah.
“Minimal karyawan menginformasikan ke yang kontra tentang sampah bahwa sampah itu bau. Dari sini, kini banyak masyarakat yang ingin gabung,” tambahnya.
Oleh karena itu, Moko memberi kesempatan kepada lebih banyak ibu rumah tangga untuk bergabung membersihkan botol. Mereka bisa mengerjakan di rumah masing-masing kemudian hasilnya disetor ke perusahaan.
Tak heran jika di Desa Bangoan, beberapa halaman rumah terdapat tumpukan botol plastik. Sejumlah 25 orang perempuan bekerja di Bangoan Colletion Center.
Perempuan dan Bank Sampah
Perubahan paradigma selanjutnya masuk ke pintu warga. Perempuan yang tak bekerja di bidang sampah pun mulai memilah sampah dari hulu, dari dapur. Kebiasaan ini tidak instan. Salah satunya merupakan hasil kerja keras para kader lingkungan di Desa Bangoan.
“Danone mengasih edukasi sampah. Saya sebagai kader masuk ke segala kegiatan, mulai pengajian sampai acara PKK. Warga sekarang sadar akan sampah. Gerakan olah sampah dari rumah. Yang bisa dijual, bisa diolah sendiri dari rumah. Kalau yang tidak bisa, dikirim ke TPA,” kata Chalifah, pendiri Bank Sampah Yunior.
Ia kini mengorganisasi 100 orang nasabah yang menyetor sampah plastiknya ke bank sampah. Ia memulai bank sampah ini sejak tahun 2019 di sela-sela usahanya dalam bidang rias pengantin.
Bank sampah membeli sampah dari warga. Sesuai dengan kesepakatan. Tabungan akan dicairkan saat Lebaran. Nasabah bisa membawa pulang Rp 2-3 juta hanya dari sampah.
Mereka menabung aneka sampah plastik mulai dari botol kemasan, tas plastik, pecahan perabotan plastik, dan lain-lain. Semua sudah dibersihkan sehingga saat disimpan di rumah sebelum disetor ke bank maupun saat ditampung di bank sampah, sampah sudah bersih.
Lingkaran selanjutnya, botol plastik ini disetor ke pabrik tekstil. Namun kini, TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) punya skema lain, bekerjasama dengan Veolia yang mengolah botol plastik ini kembali menjadi botol.
Botol plastik dikumpulkan dari beberapa sumber yaitu pusat penyortiran kota (TPS3R), dan Mitra Pengumpulan.
Kemudian botol-botol ini akan dibawa ke mitra bisnis daur ulang Danone-AQUA untuk diolah menjadi bahan baku untuk campuran pembuatan botol baru (close loop).
“Melalui proses siklus daur ulang ini, program IRI (Inclusive Recycling Indonesia) berkontribusi mendukung target AQUA meningkatkan kandungan daur ulang di kemasan sebesar 50 persen. Pada tahun 2025,” kata Jeffri Ricardo, Packaging Circularity Senior Manager Danone Indonesia.
Program IRI diinisiasi oleh Danone Ecosystem, Danone-AQUA, Veolia Services Indonesia, dan Yayasan Pembangungan Citra Insan Indonesia (YPCII).
Di daerah Jawa Timur, Mitra Pengumpulan Bangoan Tulungagung merupakan kontributor terbesar dari segi pengiriman botol plastik bekas jenis PET ke Veolia Services Indonesia.
Perusahaan ini bertugas untuk mengolah dan memproduksi kemasan botol plastik yang baru dari plastik daur ulang tersebut. Kontribusi Mitra Pengumpulan ini mencapai 31,19 persen sepanjang tahun 2022 dari total 6.380,9 ton botol PET yang dikumpulkan dari seluruh Indonesia.
“Di Veolia, pekerja perempuan juga mengambil peran penting. Ketelitiannya kami butuhkan untuk memilah dan menyortir PET,” kata Erwin Awan, Procurement Manager PT Veolia Services Indonesia. (tik/hdl)