Jakarta (pilar.id) – Setiap saat, Asia Pulp and Paper Sinar Mas memberlakukan prosedur pengelolaan hutan tanaman industri ketat. Langkah ini dilakukan untuk menghadang potensi kebakaran. Tapi dalam cuaca kering, api dapat muncul begitu. Karena faktor alam, seperti sambaran petir atau gesekan pepohonan, hingga bara puntung rokok.
Tanpa penanganan yang tepat, kebakaran akan berlangsung cepat bahkan berpotensi meluas, termasuk menghanguskan tanaman milik perusahaan.
Karenanya, helikopter pemadam secara rutin melakukan patroli udara memantau segenap konsesi, khususnya pada lokasi rawan kebakaran. Setiap ada temuan titik api, pilot segera menginformasikan ke Situation Room di Fire Base, sebelum berkoordinasi dengan pimpinan Tim Reaksi Cepat guna menaksir situasi (size up) di lokasi.
Selanjutnya pimpinan TRC akan memutuskan apakah pemadaman dilakukan dengan memobilisasi tim darat terdekat, atau menugaskan helikopter beraksi.
Saat tertentu, pemadaman dilakukan lewat pengeboman ribuan liter air atau water bombing. Tetapi ada kalanya juga, upaya ini harus dilakukan dengan pendaratan pemadam di sekitar titik api. Yang jelas, dalam kondisi demikian, ketenangan dan kekompakan tim jadi kunci kerja pilot dan anggota TRC yang diturunkan.
“Jujur saat pertama bertugas saya grogi dan takut. Ada api, asap tebal, belum lagi mata pedas. Tapi dengan mengikuti prosedur standar, akhirnya bisa. Saya juga sering ngobrol (belajar) dengan kapten,” kata Jeanette Febrina, 34 tahun, salah satu tim yang mesti bekerja ekstra saat kebakaran terjadi.
Sebelum ududuk di posisi sekarang, ia sempat aktif sebagai pramugari maskapai penerbangan utama nasional selama enam tahun. Sesudahnya, ia mencoba menapaki karir lain yang berbeda sekaligus menantang, sebagai pilot.
Menyandang brevet penerbang sejak 2015, tahun 2017 dirinya mulai menerbangkan helikopter, sebelum bergabung di PT Arara Abadi, sebuah perusahaan pemasok APP Sinar Mas, mengudarakan heli Bell 412.
“Saya yakin saja, karena yang tidak mungkin bisa saja terjadi asal mau berusaha. Seperti dulu pun tak ada yang menyangka saya bisa jadi pramugari karena kulit saya gelap, tapi saya bisa,” kata lulusan Manajemen Transportasi Universitas Trisakti berdarah Papua dan Jawa ini.
Lain Jeanette, lain pula Indria Pujiastuti, 34 tahun. Sempat menjadi anggota polisi wanita dan berdinas di Kepolisian Udara Baharkam Polri sebagai pramugari VIP, ia mengantongi gelar lulusan pendidikan penerbangan pada tahun 2015.
Indri pun menjalani konversi ke helikopter di kesatuannya, sebelum bergabung ke APP Sinar Mas pad 2020. “Saya ingat, saat jadi awak kabin sering berpura-pura menjadi pilot, meng-announce (mengumumkan) sendiri ke penumpang bahwa saya pilotnya, ternyata kini kesampaian,” ujarnya.
Sementara rekannya yang lebih muda, Velyn Angelica, 22 tahun, asal asal Pontianak, Kalimantan Barat, punya pertimbangan berbeda, yakni menjadi pilot agar dapat segera mandiri, tak lagi bergantung pada orang tuanya.
Selepas SMA, gadis asal Pontianak, Kalimantan Barat ini berangkat ke Jakarta untuk bergabung ke Sekolah Penerbangan Ganesa Dirgantara. Dukungan orangtua yang dirasanya sangat luar biasa untuk membiayai pendidikannya, kini tuntas terbayarkan begitu selang setahun ia berkesempatan menerbangkan helikopter milik APP Sinar Mas.
Tentu setelah menyelesaikan pendidikan lanjutan sekitar enam bulan. “Saya pikir waktu itu, enak ya jadi pilot. Keren. Tapi setelah dijalani tidak mudah juga,” kata dia.
Seperti halnya Jeanette dan Indria, ia juga berlatar pilot pesawat sayap tetap atau fixed wing. “Saya sempat di fixed wing ikut private lesson, tapi waktu dikonversi ke helikopter benar-benar sulit. Setiap pulang training nangis. Harus diapakan heli ini,” kata Indri.
Bahkan Jeanette sempat sebal karena helikopter memiliki karakter yang sangat berbeda dengan pesawat terbang. Berpangkalan di Riau, trio pilot ini mesti siaga melakukan pemantauan serta pemadaman hingga ke Jambi, Sumatera Selatan dan sebagian Kalimantan, di mana konsesi perusahaan berada.
Menurut Velyn menerbangkan heli di lapangan membuat mereka kerap bertemu lokasi pendaratan yang menantang. Bukan landasan yang kokoh, namun tanah, yang dipenuhi tegakan pepohonan, bahkan di kawasan rawa. Jika Jeanette merasakan kegugupan di awal tugasnya, Indri pun mengaku disergap rasa takut.
”Naluri manusia menjauhi api, tapi ini justru didatangi,” ujarnya. Namun motivasi untuk menjaga jangan sampai keluarganya khawatir, mendorongnya untuk menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin.
Sebagai seorang ibu, tak mudah bagi Indri untuk bekerja meninggalkan keluarga, termasuk putra tunggalnya yang kini berusia 4 tahun.
“Paling sulit itu, saat mau pergi anak rewel. Tentunya, saya sebagai perempuan jadi kepikiran. Tapi alhamdulillah sudah ada triknya. Biasanya saya ajak bicara dulu sebelum berangkat,” aku Indri.
Waktu kerja yang memberikan mereka kesempatan jeda sepanjang 20 hari setelah bertugas dua pekan di lapangan, jadi kesempatan bernilai guna melepas rindu dengan keluarga. Ia berpandangan, tidak ada yang berat asalkan semua dijalani dengan bergembira.
Sementara di garis depan, jika mampu membaur dengan anggota pemadam, atau TRC lainnya, dijamin kebosanan akan lesap. Seperti Velyn yang mengisi waktu dengan sejumlah aktivitas seperti memasak, atau berkaraoke di sela tugas.
“Selama menunggu jadwal baru, biasanya saya jalan-jalan (liburan). Secara pendapatan, bisa dikatakan pilot itu sangat menjanjikan,” kata Velyn.
Menurutnya, lebih banyak suka dibandingkan duka dalam karirnya sebagai pilot helikopter. Jika ada yang meragukan kemampuannya, cukup dijawab dengan menjalankan tugas sebaik mungkin, seprofesional mungkin. Sebagaimana Jeanette berpandangan.
“Saya berharap, tak ada lagi embel-embel pilot perempuan. Pilot ya pilot saja,” kata wanita yang punya niatan dapat merambah bisnis aviasi ini. (ptr/hdl)