Bangkok (pilar.id) – Meski diberikan waktu tambahan selama 32 bulan, perusahaan tembakau di Myanmar belum mematuhi aturan Notifikasi Standardisasi Kemasan Tembakau yang mulai berlaku pada 31 Desember 2024.
Berdasarkan inspeksi di berbagai toko ritel di kota besar, produk tembakau masih dijual dalam kemasan bermerek dan berwarna-warni, yang melanggar ketentuan undang-undang.
Myanmar menjadi negara Asia ketiga setelah Thailand dan Singapura yang mewajibkan kemasan tembakau standar.
Notifikasi ini diterbitkan pada 12 Oktober 2021 dan awalnya dijadwalkan berlaku pada 10 April 2022. Namun, karena tekanan dari industri tembakau, implementasinya ditunda hingga akhir 2024.
Langkah serupa telah diterapkan di 26 negara secara global, termasuk Laos, sebagai bagian dari Konvensi Kerangka Kerja WHO tentang Pengendalian Tembakau (WHO FCTC).
Standar ini bertujuan untuk menghapus logo, warna merek, dan elemen promosi lainnya dari kemasan, sehingga lebih efektif mencegah anak muda mulai merokok dan mendorong perokok untuk berhenti.
Dampak dan Tantangan
Myanmar menghadapi krisis kesehatan akibat tembakau, dengan 17 juta perokok aktif. Setiap tahun, 60.000 orang meninggal karena penyakit terkait tembakau, sementara biaya kesehatan mencapai MMK 2,62 triliun (1,92 miliar Dollar AS).
Standardisasi kemasan diharapkan memperkuat peringatan kesehatan bergambar yang saat ini menutupi 75 persen bagian depan dan belakang kemasan tembakau.
Dr. Ulysses Dorotheo, Direktur Eksekutif Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), mengkritik penundaan ini.
“Intervensi industri tembakau menyebabkan keterlambatan 32 bulan dalam penerapan aturan yang menyelamatkan nyawa. Kami mendesak pemerintah Myanmar untuk tegas dalam penegakan hukum dan memberikan sanksi kepada pelanggar,” tegasnya.
Tentang SEATCA
SEATCA adalah aliansi non-pemerintah yang mempercepat implementasi pengendalian tembakau di ASEAN sesuai dengan WHO FCTC. Organisasi ini diakui atas kontribusinya dalam pengendalian tembakau, termasuk penghargaan World No Tobacco Day Award pada 2004 dan WHO Director-General’s Special Recognition Award pada 2014. (usm/hdl)