Surabaya (pilar.id) – Pakar hukum udara Indonesia bisa dibilang masih sedikit dan kurang populer jika dibanding profesi dunia hukum yang lain, misalnya pengacara. Kebanyakan juga mereka bermain di balik layar.
Ardhy Riadhy Arafah, Direktur Airlangga Institute For International Law Studies (AIILS) Universitas Airlangga yang juga seorang pakar hukum udara dan angkasa mengatakan, hukum udara ini mulai populer saat terjadinya kasus pada perjanjian dan konflik beberapa waktu lalu yang terjadi di Natuna, Indonesia.
“Misalnya kasus perjanjian singapura. Kok bisa ruang udara punya wilayah indonesia, akan tetapi yang mengontrol singapura” ujar Ardhy dalam NN Talk, sebuah podcast yang digawangi Novianingtyastuti dan Nurdin Maharyanto.
Novianingtyastuti adalah psikolog, konsultan manajemen sumber daya manusia, dan Direktur PT Magnet Solusi Integra. Sedangkan Nurdin Maharyanto adalah founder Surabaya Creative Design.
Dijelaskan Ardhy, dalam kasus kecelakaan pesawat Air Asia 8501 yang terjadi pada tahun 2014, maskapai penerbangan memberikan kompensasi pada WNI lebih rendah jika dibanding kompensasi untuk WNA.
“Kasus yang paling menarik yang saya tangani, waktu kecelakaan Air Asia 8501, karena penumpangnya mayoritas orang indonesia maka mereka dapat kompensasi sebesar Rp 1,25 Miliar. Kemudian 4 warga korea mendapat kompensasi sebesar Rp 2,5 miliar,” kata Ardhy
Kompensasi yang lebih rendah, terjadi dikarenakan Indonesia pada saat itu belum meratifikasi penerbangan international, dan maskapai penerbangan Indonesia masih menilai terlalu mahal.
“Pada saat itu terjadi karena Indonesia belum meratifikasi peraturan penerbangan International Montreal 1999. Dan saat itu 2014 indonesia masih memakai peraturan lama Marshaw 1929. Kendalanya saat itu, jika mengubah kompensasi Rp 800 juta ke Rp 1,25 miliar, banyak maskapai keberatan karena terlalu mahal,” jelasnya.
Setelah kejadian kecelakaan pesawat Air Asia 8501, Ardy mengungkapkan dirinya bernegosiasi kepada para maskapai penerbangan Indonesia hingga akhirnya mereka menyetujui untuk meratifikasi Montreal 1999, dan dikeluarkannya Perpres 2016.
Dari gambaran ini diketahui, pakar hukum udara sebetlnya sangat berperan penting. “Yang perlu dipikirkan adalah perlindungan bagi negara seperti Indonesia yang yang banyak dilintasi satelit punya negara lain,” kata Ardhy. (ptr/hdl)