Jakarta (pilar.id) – Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengkritisi program-program pengentasan kemiskinan yang tidak mampu memberikan dampak signifikan. Pasalnya, ia menilai pengurangan angka kemiskinan cenderung stagnan.
Hal itu ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin pada September 2022 yaitu sebesar 26,36 juta orang atau setara dengan 9,57 persen. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 0,20 juta orang atau 0,03 persen terhadap Maret 2022.
Jika dibandingkan dengan September tahun 2017, jumlah penduduk miskin sebesar 26,58 juta orang setara dengan 10,12 persen. “Artinya perubahannya hanya sekitar 220 ribu saja, angkanya tidak terlalu signifikan,” ungkap Anis, di Jakarta, Senin (6/2/2023).
Sebagai diketahui, tingkat kemiskinan September 2022 tercatat sebesar 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan ini naik tipis dari Maret 2022 (9,54 persen) tetapi lebih rendah dibanding tingkat kemiskinan pada September 2021 (9,71 persen).
Wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menegaskan bahwa kemiskinan mendapatkan perhatian secara fundamental dari negara. Pada pasal 34 Ayat 1-4 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Kemudian pada ayat 2 menyebutkan, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pada ayat 3 disebutkan kembali bahwa negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, juga disebutkan bahwa penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara. Sedangkan dalam ayat 2 disebutkan, kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
Anis lantas menyoroti program pengentasan kemiskinan yang tidak terpusat pada satu lembaga khusus yang dipimpin langsung oleh presiden. Hal ini tentunya berdampak terhadap proses koordinasi dan pencapaian target pengurangan angka kemiskinan.
Persoalan data juga masih menjadi masalah mendasar yang dihadapi dalam memberikan bantuan atau penyaluran program. “Masih banyak terdapat exclusion error dan inclusion error dalam data perlindungan sosial sehingga tidak tepat sasaran, ” tegasnya.
Lebih lanjut Anis menjelaskan bahwa kemiskinan didominasi oleh persoalan struktural. Adanya struktur sosial masyarakat yang tidak memiliki akses atau mobilitas vertical untuk menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata, menjadi persoalan tersendiri.
Kelompok ini terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah pribadi atau petani dengan kepemilikan lahan yang kecil sehingga hasilnya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, buruh yang tidak memiliki skill atau keahlian yang dikenal dengan sebutan unskilled labour.
Untuk diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merilis laporan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan tahun 2022 yang mencapai Rp431,5 triliun. Anggaran ini meliputi Program Indonesia Pintar (PIP), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Kartu Sembako, KIS, Kartu PraKerja, Bantuan Bencana Alam dan lainnya. Bantuan-bantuan itu tersebar di kementerian dan lembaga pemerintah, termasuk pemerintah daerah.
Sementara itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas memaparkan duduk masalah soal anggaran yang terkait dengan penanganan kemiskinan. Anas menyebut sebagian program kemiskinan belum berdampak optimal. Bahkan, ia menyebut anggaran kemiskinan di kementerian dan lembaga (K/L) yang hampir Rp500 triliun tidak terserap sebagaimana mestinya. Alih-alih dirasakan masyarakat, anggaran tersebut malah banyak habis untuk kegiatan rapat hingga studi banding. (ach/hdl)