Surabaya (pilar.id) – Salah satu aspek penting dalam mendukung pertumbuhan dan kesehatan anak adalah memastikan kebutuhan gizi terpenuhi serta memberikan rangsangan yang sesuai dengan tahap perkembangannya.
Namun, terkadang orang tua dihadapkan pada masalah makan pada anak, yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Tanda-tanda yang perlu diwaspadai adalah penolakan makan berkepanjangan, waktu makan yang berlarut-larut, stres saat makan, distraksi saat makan, ketidakmampuan dalam makan mandiri, pemberian ASI yang berlanjut terlalu lama, makanan malam yang berlebihan, dan kesulitan dalam beradaptasi dengan tekstur makanan yang berbeda.
Masalah ini ternyata umum terjadi di Indonesia dan negara-negara lain, mengakibatkan keprihatinan karena kurangnya asupan gizi yang diperlukan selama masa pertumbuhan anak.
Masalah makan pada anak bisa disebabkan oleh faktor lingkungan, perilaku atau aspek psikologis, dan gangguan organik, seperti masalah pada saluran pencernaan.
Dalam perspektif gastrohepatologi, kesulitan makan anak dapat disebabkan oleh gangguan pencernaan yang mempengaruhi nafsu makan dan kebiasaan makan harian.
Beberapa gangguan pencernaan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan saat makan dan membuat anak enggan makan meliputi diare, muntah, sakit perut, demam, penyakit refluks gastroesofagus (GERD), intoleransi laktosa, dan gangguan gastrointestinal lainnya.
Selain mengganggu nafsu makan, gangguan-gangguan tersebut juga dapat menciptakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak, yang pada akhirnya dapat menciptakan kecenderungan anak untuk menghindari makan.
Prof. dr. Badriul Hegar, Sp.A(K), Ph.D, seorang Pakar Gastrohepatologi, menggarisbawahi pentingnya perhatian terhadap masalah makan anak karena dapat mengganggu pertumbuhan dan kesehatan.
“Kurangnya konsumsi gizi yang optimal dapat mengganggu perkembangan anak, termasuk pengaruhnya pada aspek emosional. Istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan masalah ini bervariasi, seperti kesulitan makan, pilih-pilih makanan, dan lain-lain,” ungkap Prof. Hegar.
Tingkat kesulitan makan anak sangat bervariasi tergantung pada istilah yang digunakan dan usia anak, dengan perkiraan antara 20 hingga 70 persen pada anak di bawah usia 5 tahun.
Meskipun sebagian besar disebabkan oleh faktor non-organik, dokter dan orang tua perlu mempertimbangkan adanya tanda-tanda penyakit organik pada 20-30 persen anak dengan masalah makan.
Beberapa kelainan organik yang dapat menyebabkan masalah makan pada anak meliputi gangguan pada saluran pencernaan seperti penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), kolik pada bayi, dan infeksi saluran pencernaan.
Alergi makanan, terutama terhadap protein susu sapi atau bahan makanan lain seperti gluten pada penyakit seliak, juga dapat menjadi faktor penyebab. Gangguan perkembangan motorik dan sensorik juga dapat mempengaruhi nafsu makan anak, kesulitan mengunyah, dan menelan makanan.
“Disarankan untuk secara berkala mengevaluasi kemungkinan adanya kelainan organik pada anak yang tidak merespons tata laksana yang diberikan, setidaknya setiap 3 bulan,” jelas Prof. Hegar.
Ia menambahkan, beberapa kelainan organik yang tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan anak mengembangkan pola makan yang negatif dan menghindari makanan, meskipun kelainan organiknya telah diatasi
Vera Itabiliana S. Psi, Psikolog Anak di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, menyoroti faktor psikologis yang juga dapat memengaruhi kebiasaan makan anak.
“Praktik makan orang tua, kebiasaan orang tua yang memiliki masalah makan, atau penggunaan makanan sebagai hadiah atau hukuman dapat memengaruhi kebiasaan makan anak,” kata Vera Itabiliana.
Keterbatasan variasi dalam menu makanan, kata Vera, juga dapat menyebabkan anak mengalami masalah makan. Penting untuk mengenalkan berbagai rasa dan tekstur makanan sejak dini untuk mengembangkan penerimaan anak terhadap makanan
Vera juga menambahkan bahwa pengalaman negatif dengan makanan tertentu dapat membuat anak enggan mencoba makanan tersebut lagi.
Faktor emosional seperti stres, perubahan rutinitas, atau kecemasan juga dapat mempengaruhi nafsu makan dan keberanian anak mencoba makanan baru, yang pada akhirnya dapat memicu masalah makan.
Masalah makan pada anak memiliki dampak yang luas pada tumbuh kembang anak. Anak yang mengalami masalah makan berisiko mengalami malnutrisi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan mengurangi sistem imun tubuh.
Ini membuat anak lebih rentan terhadap infeksi dan dapat menghambat pertumbuhan otak yang optimal, sehingga berdampak pada kemampuan kognitif dan perkembangan anak.
dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH, seorang Dokter Tumbuh Kembang Anak di RSCM, menyarankan agar orang tua memperhatikan pola makan anak untuk mencegah risiko malnutrisi.
“Anak dapat mengalami malnutrisi ringan hingga masalah makan yang ekstrem, yang mengakibatkan defisiensi gizi yang signifikan,” tegas Bernie.
Defisiensi ini, lanjut dia, akan memengaruhi pertumbuhan fisik, fungsi otak, dan respons imun anak. Konsultasi dengan dokter segera diperlukan dalam situasi ini untuk menentukan prioritas penanganan yang tepat.
Dampak malnutrisi dapat melibatkan defisiensi berbagai mineral, vitamin, dan protein yang mengurangi daya tahan tubuh dan sistem imun anak.
Malnutrisi juga dapat memperlambat proses penyembuhan penyakit dan menurunkan kemampuan berpikir anak. Pertumbuhan otak yang optimal memerlukan nutrisi yang tepat, bersamaan dengan rangsangan yang sesuai.
“Anak-anak dengan masalah makan dapat mengalami pertumbuhan yang lambat atau terhambat karena kurangnya nutrisi yang diperlukan,” kata Bernie lagi.
Selain itu, katanya, faktor-faktor psikologis dan lingkungan juga dapat mempengaruhi kebiasaan makan anak.
“Orang tua memiliki peran penting dalam menjaga pola makan anak dan segera berkonsultasi dengan dokter jika masalah makan berlanjut, untuk mencegah risiko malnutrisi dan gangguan pertumbuhan,” tutup dr. Bernie. (usm/hdl)