Jakarta (pilar.id) – Universitas Paramadina sukses menggelar Paramadina Presidential Lecture dengan menghadirkan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai pembicara utama. Acara yang bertajuk Masa Depan Multilateralisme di Tengah Ketidakpastian Ekonomi-Politik dan Keamanan Global ini berlangsung secara luring di Universitas Paramadina, Kuningan, Jakarta.
Diskusi akademik ini dipandu oleh Ahmad Khoirul Umam dan dihadiri oleh civitas akademika serta para pemangku kepentingan di bidang politik dan ekonomi.
Apresiasi Universitas Paramadina atas Kehadiran SBY
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menyampaikan apresiasi atas kehadiran SBY dalam forum akademik ini. Dalam sambutannya, ia mengenang masa kepemimpinan SBY sebagai presiden yang bertepatan dengan masa pengabdiannya di DPR-RI.
Mengawali paparannya, SBY mengungkapkan kedekatannya dengan para tokoh Universitas Paramadina, mulai dari Cak Nur (Nurcholish Madjid) hingga para rektor seperti Anies Baswedan, Firmanzah, dan Prof. Didik J. Rachbini.
Dinamika Geopolitik dan Tantangan Multilateralisme
Dalam paparannya, SBY membahas perubahan besar dalam tatanan global sejak Perang Dunia II hingga era modern.
Ia menjelaskan bagaimana transisi dari G-8 ke G-7 terjadi akibat keluarnya Rusia, serta dampak meningkatnya ultranationalism, unilateralism, dan isolationism yang mengancam eksistensi multilateralisme dunia.
“Pertanyaan besar saat ini adalah, apakah G20 yang dibentuk pada 2008 masih relevan dengan perubahan tatanan dunia? Begitu pula dengan masa depan G7 dan BRICS. Indonesia, yang kini telah resmi menjadi anggota BRICS, harus siap menghadapi tantangan global dan menavigasi posisi strategisnya,” ujar SBY.
Lebih lanjut, ia menyoroti tiga pemimpin dunia yang memiliki pengaruh besar dalam geopolitik global saat ini, yaitu Presiden Xi Jinping (China), Presiden Vladimir Putin (Rusia), dan mantan Presiden Donald Trump (AS).
Menurutnya, ketiga tokoh tersebut memiliki kekuatan ekonomi, militer, dan teknologi, yang menjadi faktor dominasi mereka di panggung internasional.
SBY juga mengkritisi kebijakan ‘America First’ yang diterapkan oleh Donald Trump, yang menurutnya semakin melemahkan multilateralisme.
Selain itu, ia menyoroti semakin kuatnya peran Rusia dan China dalam politik global, serta mempertanyakan efektivitas hak veto yang dimiliki lima negara besar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menentukan keputusan dunia.
Peran ASEAN dan Indonesia di Kancah Global
SBY menegaskan bahwa peran ASEAN sebagai organisasi regional harus terus diperkuat. Menurutnya, lembaga internasional seperti Bretton Woods, IMF, World Bank, dan WTO kini menghadapi tantangan besar akibat perubahan sistem ekonomi global.
“Indonesia, sebagai anggota BRICS, memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas kawasan serta memperkuat kerja sama antar negara-negara ASEAN di tengah dunia yang semakin terfragmentasi,” tambahnya.
Ia menutup sesi dengan menegaskan bahwa ASEAN harus tetap solid agar dapat menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas dan kemajuan di Asia Tenggara. (usm/hdl)