Jakarta (pilar.id) – Setiap tanggal 1 Mei, jutaan pekerja di seluruh dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. Peringatan ini merupakan simbol perjuangan kelas pekerja dalam menuntut keadilan dan kondisi kerja yang layak.
Hari Buruh berawal dari perjuangan panjang buruh di Amerika Serikat yang menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam per hari. Di abad ke-19, revolusi industri membawa dampak serius terhadap kondisi kerja, dengan jam kerja yang mencapai 19 hingga 20 jam sehari, upah rendah, dan lingkungan kerja yang tidak manusiawi.
Pemogokan pertama tercatat terjadi pada tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers di AS. Sejak saat itu, tuntutan untuk mengurangi jam kerja menjadi agenda kolektif kelas pekerja. Tokoh seperti Peter McGuire dan Matthew Maguire memainkan peran penting dalam mendorong lahirnya Hari Buruh.
Pada 5 September 1882, parade Hari Buruh pertama digelar di New York dan diikuti oleh 20.000 pekerja dengan slogan “8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi”.
Perjuangan ini mencapai puncaknya pada 1 Mei 1886, saat sekitar 400.000 buruh di berbagai kota di Amerika Serikat melakukan demonstrasi besar-besaran.
Namun, aksi damai ini berubah tragis dalam insiden Haymarket pada 4 Mei 1886, ketika polisi melepaskan tembakan ke arah demonstran, menewaskan banyak buruh dan menghukum mati sejumlah pemimpinnya. Peristiwa ini melahirkan sebutan “Martir Haymarket”.
Sebagai bentuk solidaritas internasional, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris pada Juli 1889 menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Sejak tahun 1890, 1 Mei diperingati di berbagai negara meski sering kali dihadang dengan represi.
Hari Buruh di Indonesia
Indonesia mulai memperingati Hari Buruh sejak tahun 1920. Namun, setelah peristiwa G30S tahun 1965 dan selama masa Orde Baru, peringatan ini dihapus dan dikaitkan dengan paham komunisme.
Pemerintah Orde Baru bahkan melabeli peringatan May Day sebagai tindakan subversif, meski negara-negara lain dengan sistem nonkomunis tetap menjadikannya hari libur nasional.
Setelah jatuhnya Orde Baru, peringatan Hari Buruh kembali digaungkan. Meskipun belum menjadi hari libur nasional, aksi demonstrasi rutin digelar setiap 1 Mei, terutama sejak 1999.
Gerakan buruh dan mahasiswa mulai memadati ruang-ruang publik tanpa diwarnai kekerasan seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Bahkan, pada era Reformasi awal, peringatan Hari Buruh Sedunia digelar secara terbuka di Kampus FKUI Salemba, Jakarta.
Peringatan tahun 1998 dan 1999 menjadi tonggak penting kembalinya Hari Buruh sebagai agenda publik di Indonesia, meskipun masih dalam suasana transisi politik yang menegangkan.
Hari Buruh Internasional bukan hanya sekadar hari libur, melainkan peringatan atas perjuangan panjang para pekerja dalam meraih hak-hak dasar mereka. Di tengah dinamika sosial dan politik, Hari Buruh menjadi pengingat bahwa kemajuan ekonomi dan pembangunan sosial tidak bisa dilepaskan dari kontribusi kaum buruh. (ret/hdl)