Bandung (pilar.id) – Stigma negatif terhadap profesi bidan tetap menjadi masalah serius yang memengaruhi sistem perawatan kesehatan di Indonesia, terutama dalam konteks perawatan kesehatan ibu dan bayi.
Salah satu persepsi yang keliru adalah anggapan bahwa bidan memiliki kualifikasi yang lebih rendah daripada dokter, padahal kenyataannya, bidan memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam merawat ibu hamil, persalinan, dan pasca persalinan.
Mitos-mitos seperti ‘bidan tidak kompeten’ atau ‘praktik bidan tidak aman’ sering menghambat masyarakat untuk mencari perawatan kesehatan dari bidan, padahal bidan adalah profesional yang mendapatkan pelatihan ketat untuk memberikan pelayanan yang aman dan berkualitas.
Selain dampaknya pada masyarakat, stigma negatif terhadap bidan juga berdampak negatif pada kesejahteraan mental dan profesionalisme para bidan. Mereka mungkin merasa kurang dihargai atau diabaikan dalam pekerjaan mereka, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan yang mereka berikan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, terdapat 336.984 bidan di Indonesia, meningkat sebesar 16,73 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 288.686 bidan. Di Jawa Barat sendiri, ada sekitar 33.046 bidan, dengan sekitar 1.500 bidan aktif di wilayah Bandung Raya. Meskipun jumlah ini cukup besar, masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang terus berkembang.
Salah satu bidan di wilayah Kabupaten Bandung Barat, Bidan Neng Ira, berbicara tentang tantangan dan tanggung jawab yang dihadapi oleh seorang bidan. “Amanah seorang bidan sangat berat, karena kita tidak hanya bertanggung jawab terhadap dunia ini tetapi juga akhirat. Bidan berhadapan dengan situasi yang penuh risiko, seperti kasus aborsi atau kematian ibu hamil dan bayi,” kata Ira.
Bagi Neng Ira, penting bagi seorang bidan untuk memiliki keimanan dan karakter yang kuat. Selain kesiapan mental dan fisik untuk menangani persalinan, nilai-nilai keagamaan yang kuat juga harus menjadi bagian dari identitas seorang bidan, untuk menjauhkannya dari tindakan yang melanggar etika dan nilai-nilai keagamaan.
Ira juga berbagi kebahagiannya dalam pekerjaannya sebagai bidan. “Mendengar tangisan bayi saat lahir adalah kebahagiaan saya. Tangisan bayi itu adalah tanda kehidupan baru. Saya merasa sangat berguna,” lanjutnya. Ira menjelaskan bahwa memberikan pelayanan dengan penuh kasih sayang adalah tujuan utama setiap bidan.
Ikatan Bidan Indonesia (IBI) di wilayah Jawa Barat memainkan peran penting dalam mendukung ribuan bidan di Bandung Raya. Organisasi ini memberikan dukungan, pelatihan, dan panduan kepada anggotanya untuk menjaga kualitas perawatan yang tinggi. Ini sangat penting karena bidan sering kali bekerja di daerah-daerah terpencil, di mana akses ke layanan kesehatan mungkin terbatas.
Ketua Ikatan Bidan Provinsi Jawa Barat, Eva Riantini, menjelaskan upaya organisasinya untuk mengakui peran penting bidan dalam sistem perawatan kesehatan dan memastikan bahwa bidan mendapatkan pengakuan yang pantas atas kontribusi mereka. Upaya ini termasuk dalam meningkatkan regulasi, standar, dan peluang karier bagi bidan.
“IBI Jabar menjadi tempat bagi para bidan untuk berbagi pengalaman, belajar satu sama lain, dan mendukung satu sama lain dalam situasi yang mungkin sulit. Ini tidak hanya memperkuat persaudaraan antar bidan, tetapi juga meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap profesi mereka,” jelas Eva.
Eva menekankan bahwa IBI Jabar adalah sumber daya, penghubung, dan advokat bagi para profesional yang berkomitmen untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi di Indonesia. “Melalui kerja keras IBI, perawatan ibu dan bayi di Indonesia, terutama di wilayah Bandung Barat, dapat terus meningkat dan menuju masa depan yang lebih cerah,” harapnya.
Selain memberikan perawatan kesehatan ibu dan bayi, bidan juga memiliki peran penting dalam membantu masyarakat memahami masalah gizi dan kesehatan di wilayahnya. Mereka dapat menentukan prioritas intervensi gizi dan kesehatan, mendampingi masyarakat dalam mengenali potensi pendukung gizi dan kesehatan di wilayah mereka, sehingga menciptakan inovasi yang memanfaatkan kearifan lokal.
“Selain memberikan pelayanan kebidanan, para bidan juga berperan dalam mengelola pelayanan, menjadi penyuluh dan konselor, pendidik, pembimbing, dan fasilitator klinik, serta menjadi penggerak dalam usaha pemberdayaan masyarakat,” kata Eva.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh bidan adalah menyampaikan edukasi tentang kesehatan dan gizi dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat. Menurut Eva, di wilayah Bandung Raya, masyarakat masih belum sepenuhnya menyadari dampak buruk dari konsumsi gula berlebihan terhadap kesehatan.
“Gula tambahan dalam makanan dan minuman, seperti kental manis yang diseduh, minuman boba, donat gula, dan lainnya seringkali tidak terlihat oleh mata telanjang, yang membuatnya sulit untuk disadari oleh individu,” jelas Eva.
Salah satu masalah utama dalam edukasi tentang konsumsi gula berlebihan adalah kurangnya pemahaman tentang label nutrisi pada produk makanan dan minuman. Masyarakat seringkali kesulitan membaca dan memahami label ini, yang dapat mengaburkan fakta bahwa banyak produk yang mereka konsumsi mengandung gula tambahan yang tidak sehat.
Yuli Supriati, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia, menjelaskan bahwa penanganan masalah konsumsi gula berlebihan memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan pemerintah, produsen, dan masyarakat umum.
“Pemerintah perlu mengimplementasikan regulasi yang lebih ketat terkait pelabelan nutrisi dan iklan yang berhubungan dengan kental manis yang sebaiknya tidak dikonsumsi oleh anak-anak sebagai pengganti susu. Produsen juga harus berperan aktif dalam mengurangi gula tambahan dalam produk mereka dan mengedukasi konsumen tentang pentingnya mengurangi konsumsi gula,” tegasnya.
Dengan kerja sama dari berbagai pihak, Yuli berharap kesulitan dalam edukasi tentang konsumsi gula berlebihan di masyarakat dapat diatasi. Ini akan menjadi langkah penting menuju masyarakat yang lebih sehat dan sadar akan pentingnya mengendalikan konsumsi gula dalam rangka menjaga kesehatan mereka. (ret/ted)