Jakarta (pilar.id) – Universitas Paramadina mengadakan acara bergengsi Muktamar Pemikiran Cak Nur dan Paramadina Research Day 2023 di Jakarta pada Rabu (25/10/2023). Acara yang dihelat dalam format hybrid ini berhasil menarik ratusan peserta dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan masyarakat umum.
Prof. Dr. Suyitno, M.Ag., Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan serta Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, menyampaikan pidato perkenalan atas nama Menteri Agama Republik Indonesia. Dalam pidatonya, Prof. Dr. Suyitno menjelaskan, “Muktamar pemikiran Cak Nur di kampus peradaban ini, kampus inklusif, kampus pluralis. Bicara tentang Cak Nur, pasti muncul idiomatik. Tugas berat kita adalah bagaimana warisan Cak Nur tetap hidup dan tidak sekadar jargon, melainkan terwujud dalam tindakan nyata.”
Cak Nur dianggap sebagai simbol perpaduan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Beliau memiliki akar kuat dalam tradisi pesantren, berasal dari keluarga di Jombang, dan mendalami ilmu di Gontor. Cak Nur dikenal sebagai tokoh yang pandangannya didasarkan pada nilai-nilai spiritualitas, keislaman, dan agama yang kokoh.
Prof. Suyitno juga menekankan, “Cak Nur mewakili modernitas dari proses genealogis, dari proses akademik yang memungkinkan kita menyebutnya sebagai ‘Fazlur Rahman’-nya Indonesia. Pemikiran Cak Nur sangat relevan dalam mendorong inklusivitas, kemanusiaan, dan mengatasi segala bentuk diskriminasi, seperti ras, etnis, suku, dan agama. Bagi Departemen Agama, gagasan Cak Nur sangat berharga.”
“Bagi Cak Nur, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menggabungkan tradisi baik dengan modernitas, bahkan pasca-modernitas,” tambahnya.
Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D., mengungkapkan upaya Universitas Paramadina untuk menjaga dan mewariskan pemikiran Cak Nur melalui kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. “Universitas Paramadina, sebagai warisan Cak Nur, mendorong Islam yang toleran, Islam yang berdampingan dengan demokrasi, pendidikan, dan pemikiran kritis dalam dunia intelektual, modernisme Islam, dan nilai pluralisme dalam keberagaman.”
A. Khoirul Umam, Ph.D., yang memoderatori acara ini, mengatakan bahwa Muktamar ini adalah kesempatan berharga untuk merenungkan dan kontekstualisasi pemikiran Cak Nur di tengah tantangan kompleks yang dihadapi bangsa saat ini. “Cak Nur adalah pribadi yang memiliki gagasan, etika, dan tindakan. Ia menggabungkan semua aspek ini dalam pemikiran yang melampaui batas-batas ilmu pengetahuan, dan berdampak dalam konteks sosial, politik, budaya, dan demokrasi di Indonesia.”
Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), menjelaskan bahwa dalam tulisan-tulisan Cak Nur, terdapat pembahasan tentang masyarakat yang egaliter, di mana kesetaraan antar manusia menjadi inti ajaran agama Islam. “Cak Nur menjelaskan tauhid sebagai fondasi untuk membangun inklusivisme. Ia mengartikulasikan dengan indah bahwa tauhid membawa pesan pembebasan manusia dan transendensi dalam semua aspek kehidupan, dan ini adalah dasar dari pembangunan masyarakat madani yang egaliter.”
Ulil Abshar Abdalla, Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), mengungkapkan keprihatinannya terkait bagaimana cara mengkomunikasikan pemikiran Cak Nur kepada generasi saat ini. “Apakah generasi muda membaca dan memahami pemikiran tokoh seperti Cak Nur, Gus Dur, Buya Syafi’i Ma’arif, Dawam Rahardjo, Johan Effendi, Jalaludin Rahmat, atau justru merasa asing dengan tulisannya?”
Ulil menjelaskan bahwa pemikiran Cak Nur dipengaruhi oleh cinta beliau pada Madinah sebagai lambang kehidupan yang plural dan multikultural. Cinta pada Indonesia juga tercermin dalam pemikirannya karena bahasa Melayu menjadi bahasa nasional yang egaliter. Terakhir, pengaruh Amerika sebagai negara yang menyatukan imigran dari berbagai latar belakang ke dalam satu bangsa yang beragam.
Prof. Romo Franz Magnis Suseno menceritakan pengalaman Cak Nur ketika berada di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Beliau terkenal dengan kontroversi saat menyerukan ‘Islam Yes, Partai Islam No.’ Cak Nur memandang bahwa Islam di Indonesia tidak akan maju dengan hanya fokus pada partai politik, sehingga ia menegaskan perlunya Islam mendukung negara sekuler.
“Bagi Cak Nur, yang penting adalah kebukaan Islam terhadap modernitas. Ia yakin bahwa Islam bisa dan seharusnya bersikap modern. Islam adalah agama yang inklusif, toleran, pluralis, dan demokratis karena eksis di tengah modernitas. Bagi saya, Cak Nur adalah seorang teolog,” tambah Romo Franz Magnis Suseno.
Prof. Nina Nurmila, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Pendidikan UIII, menyajikan pandangan tentang Islam dalam pemikiran Cak Nur sebagai rahmatan lil alamin, yang berarti rahmat bagi seluruh alam semesta, termasuk manusia, tumbuhan, dan hewan. Pemikiran Cak Nur menyuarakan inklusivitas, perdamaian, toleransi, dan keadilan, serta kesetaraan gender dan kebebasan berekspresi bagi perempuan.
Menurut Prof. Nina Nurmila, pemikiran Cak Nur menganggap bahwa nilai-nilai modernitas tidak bertentangan dengan Islam. Cak Nur percaya bahwa Islam dapat dan seharusnya menjadi sejalan dengan perkembangan zaman dan teknologi. Meskipun pemikirannya tentang peran perempuan dalam Islam tidak banyak ditekankan, pemikirannya yang progresif dan kontekstual memberikan ruang bagi inklusivitas, kesetaraan gender, dan kebebasan berekspresi bagi perempuan. (mad/hdl)