Yogyakarta (pilar.id) – Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (ARUD) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bermasalah, Selasa (6/12/2022) di Tugu Pal Putih, Yogyakarta.
Para demonstran yang terdiri dari jurnalis, aktivis, dan mahasiswa, ataupun masyarakat sipil ini secara bergantian masing-masing menyampaikan orasi penolakan RKUHP yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna (Rapur) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pukul 10.00 WIB.
Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Ra’udatul Jannah menyebut Pemerintah dan DPR tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Pembahasan pasal-pasal tersebut dilakukan secara tidak transparan.
“Kami meminta pemerintah seharusnya sebelum mengesahkan RKUHP ini harus rapat dengar pendapat dulu. Bahkan banyak sebenarnya di segala daerah itu melakukan penolakan-penolakan. Apakah hari ini pemerintah mendengarkan itu, ternyata tidak didengar pemerintah. Buktinya hari ini disahkan RKUHP ini,” tegasnya.
Pasal-pasal bermasalah RKUHP, lanjutnya banyak yang mengalami perubahan dari berbagai versi. Menurutnya, sosialisasi yang dilakukan pemerintah berlangsung kilat atau hanya mengejar target pengesahan.
“Aturan-aturan tersebut anti-demokrasi dan menghambat masyarakat berpendapat dalam berunjuk rasa,” tambahnya.
Selain itu juga, kata Ra’udatul pasal-pasal itu juga membungkam kebebasan pers, mengatur ranah privat, dan pasal-pasal bersifat karet karena mengatur penodaan agama, serta terdapat juga asal-pasal yang multitafsir.
Dengan demikian, pihaknya menuntut dua poin besar terhadap pengecam Pengesahan KUHP yang tidak berpihak pada Rakyat, dan menolak KUHP bermasalah. Ra’udatul pun juga mengajak masyarakat menggalang persatuan untuk melakukan tekanan publik pada pemerintah.
“Harapan kita galang persatuan rakyat, banyak peraturan atau kebijakan yang nir-partisipasi yang anti demokrasi dan juga berpotensi untuk melanggengkan pelanggaran HAM biasa maupun berat. Untuk itu, kita galang persatuan karena yang paling bisa kita lakukan tekanan dari publik,” jelasnya.
Ra’udatul juga menyorot pasal kontroversial seperti Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah. Dimana yang dimaksud pemerintah adalah presiden dan wakil presiden, sementara lembaga negara adalah MPR, DPR, DPRD, MA, dan MK.
“Sebagai negara hukum, Indonesia harus mengedepankan hukum itu sendiri, masyarakat harus setara tidak ada tumpang tindih, tujuan untuk kemakmuran rakyat. Kritik sebagai hak menyatakan pendapat merupakan hak konstitusi, hak kita semua sebagai warga negara,” tutupnya. (riz/din)