Jakarta (pilar.id) – Pemerintah berencana memangkas anggaran kementerian/ lembaga (K/L) sebesar Rp24,5 triliun. Kebijakan tersebut dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan menurunnya penerimaan karena pelemahan ekonomi.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, dana cadangan yang diminta tersebut masih terlalu kecil. Karena pelebaran subsidi energi bahkan dapat mencapai Rp300-350 triliun melihat intensitas harga minyak mentah bertahan di atas 100 usd per barel.
“Pemangkasan anggaran K/L sebaiknya diperbesar,” ujar Bhima, di Jakarta, Selasa (31/5/2022).
Menurut Bhima, selain menambah dana cadangan subsidi energi, pemerintah perlu mengantisipasi dengan realokasi anggaran belanja rutin maupun belanja program. Tidak menutup kemungkinan belanja pegawai dan barang kembali dipangkas.
Kemudian windfall keuntungan ekspor batubara, sawit, dan bahan komoditas bisa diprioritaskan sebagai subsidi silang ke energi. Pemerintah disarankan untuk menunda realisasi proyek infrastruktur yang belum urgen.
Setidaknya, lanjut Bhima, 30 persen dari total anggaran proyek strategis nasional (PSN) masih ada ruang untuk digeser ke pemenuhan kebutuhan subsidi energi. “Misalnya anggaran persiapan Ibu Kota Nusantara (IKN) bisa ditunda,” sambung Bhima.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR RI menyampaikan, untuk mempertahankan harga BBM agar tidak naik akibat kenaikan harga-harga di dunia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan berperan sebagai shock absorber. APBN berperan untuk melindungi masyarakat agar daya belinya tidak tergerus, serta menjaga momentum pemulihan ekonomi.
“Karena itu kami meminta persetujuan kepada DPR untuk menambah anggaran subsidi dan kompensasi yang nilainya diperkirakan Rp520 triliun,” kata Sri Mulyani. (ach/din)