Jakarta (pilar.id) – Pada Sealsa (16/8/2022) pekan lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan besaran Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2023 yang nilainya naik menembus angka Rp3.041 triliun.
Namun, kenaikan APBN tahun 2023 ini mendapatkan tanggapan cukup serius dari ekonom senior, Faisal Basri. Ia mengatakan bahwa APBN 2023 yang tembus hingga Rp3.041 triliun bukanlah sebuah tanda keberhasian.
Sebab menurut Faisal, pembengkakan APBN tersebut terjadi karena beban pembayaran bunga pinjaman yang naik signifikan.
“Jadi bangga kita? Kalau Rp3 ribu triliun itu disebabkan karena bayar bunganya lebih banyak,” kata Faisal, Selasa (22/8/2022).
Pada periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi), kewajiban pemerintah untuk membayar bunga utang naik 106,5 persen. Kemudian pada 2019 hingga 2023 naik 60,2 persen. Dengan demikian, jika ditotal beban bunga yang wajib dibayarkan pemerintah dari 2014 hingga 2023 menjadi 230,8 persen.
Kemudian, belanja barang dan pegawai juga meningkat signifikan. Sedangkan belanja modal naik 35,1 persen. Sementara, untuk bantuan sosial naiknya cuma 51,7 persen atau sebesar Rp148,6 triliun.
“Jauh dari subsidi yang mencapai Rp502 (tahun 2022), sekian triliun itu,” kata Faisal.
Faisal mengkritik, pemerintah makin tidak disiplin fiskal. Salah satunya yang disoroti Faisal adalah anggaran untuk pembangunan infrastuktur yang masuk dalam belanja modal. Pemerintah meyakinkan bahwa pembangunan infrastuktur tidak dibiayai APBN, melainkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Di sisi lain, BUMN kelimpungan membiayai proyek infrastruktur. Namun, pemerintah menyuntikkan anggaran melalui penyertaan modal negara (PMN). “Pemerintah cuek saja belanja modalnya di APBN kecil, entar tak kasih lewat PMN,” sambung Faisal.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, terkait dengan komposisi utang rasionya sudah turun signifikan menjadi 37,9 persen per Juli 2022. Sebelum Covid, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sebesar 30 persen. Namun, pandemi covid-19 menjadikan rasio utang naik tajam menjadi 39-41 persen.
“Jadi 10 persentase dari PDB kita langsung loncat dalam 1 tahun. Kita sepakat waktu itu, kenapa? Karena mau asses ini kebutuhan masyarakat ” kata dia. (ach/fat)