Jakarta (pilar.id) – Tahun Lalu, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Salah satu pokok ketentuan dalam UU HPP tersebut yaitu mengatur pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas produk atau layanan digital.
Namun, Ketua Umum Indonesian e-Commerce Association (idEA) Bima Laga berharap, regulasi tersebut tidak diterapkan secara mendadak oleh pemerintah. Karena, diperlukan waktu yang cukup untuk melakukan edukasi dan sosialisasi kepada para pelaku UMKM.
“Perlu diketahui bahwa baru saja disahkan Udang-Undang Perlindungan Data Diri (PDP) yang tidak memiliki waktu 2 tahun untuk penerapannya, itupun setelah undang-undang disiapkan kita juga harus memberikan edukasi kepada para pelaku, begitu juga dengan Undang-Undang HPP ini, bagaimana nantinya kita bisa memberikan waktu yang cukup dalam penerapannya,” kata Bima.
Di sisi lain, penggalian perpajakan sektor e-commerce tampaknya belum dapat mengimbangi pesatnya perkembangan ekonomi digital. Bahkan, otoritas pajak mengalami berbagai kendala, mulai dari pendeteksian data transaksi, hingga anonimitas pelaku usaha.
“Karena transaksi online ini menfasilitasi orang untuk tidak muncul untuk dicatat, terutama dari sisi perpajakan,” kata Kasubdit Peraturan PPN dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Bonarsius Sipayung, di Jakarta, Jumat (23/9/2022).
Menurutnya, untuk menerapkan aturan tersebut banyak aspek yang perlu dipikirkan kembali. Ia setuju dengan assessment. Namun, ketika dikaitkan dengan Pasal 32A UU KUP, harus dipertimbangkan juga terkait eksistensi assessment dan compliance cost yang akan timbul.
“Akan kebayang ribet untuk marketplace bagi sesuatu yang tidak kita kontrol. Karena orang yang jualan secara online nggak keliatan, nggak tahu di mana gudangnya, nggak tahu di mana keberadaanya, dapat untung dia,” kata Bonarsius.
Bila kebijakan ini resmi diterapkan, Bonarsius memastikan, tidak akan mengganggu kinerja dari e-commerce dan pelaku usaha. Ia juga memastikan, tanggung jawab pembayaran PPN dan PPH akan dibebankan kepada wajib pajak atau penjual dan pembeli, bukan marketplace.
“Kewajiban para merchant PKP tetap normal, sesuai ketentuan. Saat jual barang, dia wajib memungut PPN ditandai dengan memungut faktur,” kata Bonarsius.
Di sisi lain, peneliti Indonesian Center for Tax Law/ICTL Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Adrianto Dwi Nugroho mengatakan, penunjukan pihak tertentu sebagai pemungut pajak akan melemahkan self assessment system yang dianut.
Sebab, kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak oleh seorang wajib pajak atau PKP, misalnya pelaku usaha yang memperoleh laba usaha pada penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, justru dialihkan kepada pihak lain.
“Menurut kami untuk marketplace ini sementara dianggap tidak mempunyai kapasitas. Karena dia hanya menjadi intermedia dalam suatu transaksi, dia tidak mengetahui status si seller sudah memenuhi syarat atau tidak,” kata Adrianto.
Sebelumnya, Asisten Deputi Ekonomi Digital Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Edwin Manansang menyatakan, PMK nomor 60 tahun 2022 yang merupakan turunan dari UU HPP menyebutkan, perusahaan penyelenggara PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN wajib memungut PPN dengan tarif 11 persen atas produk luar negeri yang dijualnya di Indonesia.
Pajak ini wajib dipungut perusahaan yang memiliki nilai transaksi melebihi Rp600 juta setahun atau Rp50 juta sebulan.
“Ekonomi digital kini tampil sebagai kekuatan baru perekonomian kita,” katanya.
Sebagai informasi, hingga Agustus 2022, pemerintah telah mengumpulkan Rp8,2 triliun dari pajak pertambahan nilai melalui Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), yang berasal dari 106 pelaku usaha PMSE. Pemerintah sendiri telah menunjuk 127 PMSE menjadi wajib pungut (PPN), dan 106 di antaranya telah melakukan pemungutan. (ach/fat)