Pontianak (pilar.id)– Perubahan iklim dapat melibatkan 3 dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan tindakan perspektif jangka panjang tentang bagaimana menyikapi hari ini bisa mempengaruhi pembangunan yang berkelanjutan di bidang lingkungan hidup dengan semua pemangku kepentingan yang terlibat guna mencapai solusi.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat bekerjasama dengan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) mengadakan acara Seminar Internasional Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan di Hotel Ibis Pontianak dan dihadiri Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji, Rabu (24/3/2022).
Seminar yang merupakan bentuk tindak lanjut promosi berbagai upaya memerangi perubahan iklim serta mengkomunikasikan tujuan dari upaya-upaya tersebut kepada masyarakat Indonesia, dihadiri langsung oleh Dosen Program Magister Sekolah Kajian Strategik Global Univeritas Indonesia, Hanief Saha Ghafur, Rektor Universitas Tanjungpura, Prof. Garuda Wiko, Komisaris Utama Bank Kalbar, Irjen.Pol.(P) H.Didi Haryono, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Barat, Syarif Kamaruzaman.
“Peran Indonesia, terutama Kalbar, sangat penting dalam menekan kenaikan suhu bumi. Hal ini harus menjadi perhatian bersama karena Kalbar merupakan paru-paru dunia. Selain sektor hutan tutupan, Kalbar juga kaya akan wilayah hutan di daerah pesisir yang terkenal dengan hutan mangrove,” ungkap Gubernur Kalbar Sutarmidji.
Menurutnya terdapat 177.023,738 Hektar (Ha) hutan mangrove yang tersebar di 7 kabupaten. Selain itu, potensi lahan gambut di Kalbar cukup luas yakni sekitar 1,72 Ha.
“Dampak dari asumsi yang salah tentang tanah gambut kerap terjadi saat pembukaan lahan baru. Padahal, berdasarkan penelitian, lahan gambut sangat baik mengatur air dalam tanah dan potensi ekonominya sangat besar,” urainya.
Perubahan iklim seperti pemanasan global merupakan hasil dari praktik manusia. Emisi gas rumah kaca, kepunahan spesies dan habitat, serta hilangnya keanekaragaman hayati, merupakan masalah lingkungan hidup yang mendesak untuk segera dicari jalan keluarnya.
“Kalimantan Barat memiliki banyak hutan. Seharusnya, kondisi ini mampu menurunkan suhu udara, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, suhu udara terasa semakin panas. Untuk itu, saya mengajak untuk melakukan perbaikan terhadap dampak kerusakan lingkungan sedini mungkin. Mari, kita jaga bumi agar pembangunan berkelanjutan dapat diteruskan. Jika tidak dimulai dari sekarang, dampaknya akan terus kita rasakan sampai kapanpun,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Program Magister SKSG UI berharap tindak lanjut dalam mempromosikan upaya-upaya memerangi perubahan iklim serta mengkomunikasikannya kepada masyarakat harus diupayakan sedini mungkin.
“Hal yang menjadi konsentrasi kita bersama adalah memperkuat jejaring dan support terhadap perubahan iklim supaya tidak menjadi ancaman bagi kehidupan manusia yang akan dating,” harap Dr. Hanif Saha Ghafur. (dinaprihatini)