Jakarta (pilar.id) – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, tahun depan memang tidak akan terjadi resesi di Indonesia. Namun, Indonesia tetap harus waspada karena bakal terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
“Yang ada perlambatan memang, penurunan pertumbuhan ekonomi biasa, wajar,” kata Tauhid, kepada Pilar.id, di Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Menurut Tauhid, perlambatan ekonomi tersebut disebabkan karena guncangan eksternal. Hal itu, menyebabkan penurunan ekspor Indonesia. “Baik karena volumenya menurun, negara lain kan resesi. Mereka akan impor dari negara lain turun,” kata Tauhid.
Selain harga, menurut Tauhid, ke depan yang patut diwaspadai adalah tren penurunan permintaan komoditas ekspor. Penurunan permintaan tersebut akan mengurangi surplus neraca perdagangan. “Itu yang mempengaruhi sisi ekspor kita akhirnya surplusnya menipis,” kata Tauhid.
Tauhid mengatakan, daya beli masyarakat yang akan tertahan karena tingginya inflasi juga patut diwaspadai. Karena itu, pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah ekstrem. Apabila harga minyak masih tinggi, pemerintah akan menambal dengan subsidi yang sangat besar.
Berikutnya, jika Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan di atas 4,5 persen, maka Bank Indonesia (BI) seharusnya menaikkan suku bunga acuannya menjadi 7 persen. “Sekarang kan 5,25 persen. 7 persen itu sudah berat banget. Itu dua isu yang harus direspons,” kata Tauhid.
Senada, ekonom senior Indef Aviliani menuturkan, Indonesia pada 2023 hanya akan mengalami perlambatan ekonomi. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghadapi tahun depan yang penuh ketidakpastian.
“Yang menarik adalah data terakhir, di perbankan sekarang kredit tumbuh hampir 12 persen. Jadi seolah-olah memang anomali,” kata Aviliani.
Dia memaparkan, untuk mengantisipasi dampak resesi ke depan, Indonesia bisa mengandalkan komoditas batubara, crude palm oil (CPO), dan pangan. Menurutnya, ekspor berbasis energi saat ini sedang naik daun, termasuk dalam hal ini CPO yang sebelumnya ditolak Eropa. Sementara dari sisi pangan, potensi pasar global menjadi sangat penting karena para konglomerat Indonesia mulai memasuki bisnis hidroponik.
“Kenapa? Sekarang itu energi yang tadinya semua negara berbasis
energi terbarukan, sekarang kembai ke fosil. Karena dia kembali ke fosil, batubara kita jadi laku,” kata dia. (ach/din)