Jakarta (pilar.id) – Membangun kesadaran sejarah sangat penting untuk kembali pada UUD 1945 yang dalam ekonomi politik masuk ke wilayah Ekonomi Konstitusi. Hal ini disampaikan oleh Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, dalam diskusi daring bertema “Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Ekonomi” yang diadakan oleh Universitas Paramadina dan INDEF.
Didik menghubungkan hal tersebut dengan sejarah Indonesia pada Mei 1908, ketika kelompok-kelompok pemuda membentuk satu kesatuan bangsa. “Oleh karena itu, sangat disayangkan jika ada pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa dan demokrasi, yang berarti menghancurkan sejarah panjang perjalanan bangsa,” ujarnya.
Eisha Maghfiruha R. Ph.D, Kepala Center of Digital Economy and SMEs INDEF, menyoroti ekonomi global yang saat ini sedang tidak stabil. “Stagnasi global mencatat PDB hanya akan tumbuh 3,2 persen (YoY) pada 2023, 2024, dan 2025. Meski ekonomi maju tumbuh 1,7 persen, negara berkembang hanya tumbuh 4,2 persen pada 2024,” tuturnya.
Prospek suku bunga global yang tidak pasti menahan suku bunga tinggi, mendorong capital outflow dan memengaruhi nilai tukar rupiah yang mencapai Rp16.000. “Perubahan dinamika ekonomi global dipengaruhi eskalasi perang di Timur Tengah dan konflik Rusia-Ukraina, yang mengurangi probabilitas masuknya investasi asing ke Indonesia,” tambah Eisha.
Perekonomian domestik tumbuh 5,1 persen (YoY) pada Q1 2024, tertinggi dalam lima tahun terakhir, didorong oleh Ramadhan dan belanja pemerintah. “Namun, pertumbuhan ini belum didorong oleh produksi maksimal,” ungkapnya.
Program baru pemerintah, seperti makan siang gratis/makan bergizi, memerlukan anggaran Rp460 triliun atau 7,23 persen dari APBN 2024. “Penambahan utang untuk program ini dapat memperburuk situasi fiskal dan membebani stabilitas ekonomi,” tegas Eisha.
Dr. Handi Risza, Ekonom Universitas Paramadina, melihat dunia dihantui oleh inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. “Kondisi ini akan berlangsung lama dan berdampak pada negara berkembang seperti Indonesia,” jelasnya.
Dalam negeri, stagnasi pertumbuhan ekonomi dengan rata-rata 4,9 persen membuat Indonesia sulit naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi. Rasio Gini meningkat dari 0,381 pada September 2022 menjadi 0,388 pada Maret 2023, menunjukkan ketimpangan yang melebar.
Handi juga menyoroti peningkatan utang nasional mencapai Rp7.700 triliun per Maret 2024. “Debt to Service Ratio Indonesia selalu di atas 30 persen sejak 2014. Besarnya utang dan bunga utang membebani keuangan negara,” katanya.
Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina, menyoroti kondisi global yang tidak bersahabat bagi Indonesia, dengan perang Rusia-Ukraina, eskalasi di Timur Tengah, dan perang dagang AS-China. “Harga komoditas yang berfluktuasi berdampak pada ekonomi nasional,” ujarnya.
Utang yang melejit dan bunga yang meningkat membuat daya saing ekonomi semakin terpuruk. “Gambaran bagi beban berat perekonomian terlihat pada angka pengangguran yang tinggi dan kegagalan memanfaatkan bonus demografi,” tambah Wijayanto.
“Perlu evaluasi atas kebijakan yang tumpang tindih dan tidak pasti untuk menarik investasi. Institusi ekonomi dan non-ekonomi harus bebas dari korupsi dan etika yang merosot. Biaya logistik yang tinggi juga menjadi masalah,” tegasnya.
Rasionalisasi program seperti IKN, KCIC, dan bansos serta modifikasi janji politik Pilpres 2024 perlu dilakukan. “Minimalkan utang dengan porsi berjangka panjang dan berbunga rendah; saat ini 90 persen utang berasal dari SUN yang mahal,” tutup Wijayanto. (usm/ted)