Samarinda (pilar.id) – Perkawinan anak di Provinsi Kalimantan Timur secara statistik memang fluktiatif. Sekali turun, namun naik lagi. Meski begitu, dalam kurun waktu empat tahun terkahir, angka perkawinan anak masih konsisten di atas 800 anak. Bahkan, sejak tahun 2020, angkanya konsisten di atas 1000 anak.
Menurut data dari Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur, pada tahun 2018 tercatat ada 935 anak melangsungkan perkawinan. Angka ini sempat turun di tahun 2019 menjadi 845 anak. Tetapi, kembali naik secara siginifikan di tahun 2020 menjadi 1.159 anak dan turun kembali di tahun 2021 menjadi 1.089 anak.
Data ini disampaikan oleh Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur, Noryani Sorayalita pada Sosialisasi Peran Pengasuhan Anak dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2022, di Hotel Ibis Samarinda, Selasa (1/3/2022).
“Pada tahun 2021 ada sedikit mengalami penurunan 70 anak, sehingga totalnya menjadi 1.089 anak. Meski demikian, jauh sebelum pandemi, perkawinan anak menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia,” kata Noryani Sorayalita.
Soraya menambahkan, perkawinan anak di Indonesia tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang tertanam di masyarakat sejak lama yang mendukung atau menormalisasi perkawinan anak, seperti perspektif agama yang berpandangan bahwa menikah adalah cara untuk mencegah terjadinya perbuatan zina.
“Selain itu, perspektif keluarga yang berpandangan bahwa perkawinan anak sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun, sehingga tidak menjadi masalah jika hal serupa tetap dilakukan dan perspektif komunitas yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan yang tinggi. Pandangan-pandangan ini menjadikan perkawinan anak direstui dan difasilitasi oleh orangtua, keluarga dan masyarakat,” ujarnya.
Soraya mengatakan pemerintah telah berupaya untuk mencegah perkawinan anak terjadi, diantaranya mengubah batas usia minimal untuk perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan anak ujarnya, telah menjadi prioritas kebijakan pembangunan nasional di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024).
Selanjutnya dalam Sustainable Development Goals (SDGs), pencegahan perkawinan anak masuk ke dalam tujuan kelima mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.
“Kemudian, dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,21 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024 dan 6,9 persen pada tahun 2030,” tandasnya.
Soraya melanjutkan, dalam perlindungan anak, selain upaya kuratif juga diperlukan upaya preventif dan promotif agar meminimalisir terjadinya kasus perkawinan anak.
Keluarga atau orang tua merupakan garda terdepan yang berperan dalam mengasuh, mendidik dan membentuk karakter anak. Pengasuhan anak oleh orang tua merupakan salah satu kunci penting dalam sebuah keluarga yang akan menentukan baik buruknya karakter seorang anak kelak.
“Sementara DKP3A Kaltim menfasilitasi layanan informasi, konseling dan layanan rujukan terkait pengasuhan berbasis hak anak yang mudah diakses dan dikenal masyarakat melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Kaltim Ruhui Rahayu,” kata Soraya.
Ia berharap melalui kelembagaan Puspaga bisa terjadi peningkatan peran pengasuhan keluarga, meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera dan pemenuhan hak anak. (lin/fat/antara)