Yogyakarta (pilar.id) – Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen P3A) RI, Rini Handayani menyebut fenomena kekerasan seksual dan perkawinan anak disebabkan pengetahuan dan pendidikan seksual yang belum optimal.
“Hampir sepertiga anak-anak Indonesia tidak mengetahui tentang pendidikan seksual. Tentu ini menjadi dilema, mengingat anak-anak ini pondasi sepertiga populasi penduduk Indonesia,” ucapnya saat konferensi pers CIMSA dengan tema Pendidikan Seksual Komprehensif, Jumat (17/2/2023).
Terlebih, dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2017, dua persen remaja perempuan dan delapan persen remaja laki-laki usia 15-24 tahun mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, dimana 11 persen diantaranya mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
Sedangkan, jumlah kasus aborsi di mencapai 2,3 juta per tahunnya dengan 20 persen dilakukan remaja. Menurutnya, adanya regulasi dan sarana dan prasarana di daerah sangat menentukan untuk menekan kasus-kasus tersebut.
“Pendidikan seksual komprehensif ini berbicara tentang akses layanan pasca dan saat pendidikan itu seperti konsultasi, kesehatan, pendampingan hukum, sampai rumah aman seperti apa,” ungkapnya.
Menurutnya, pendidikan seksual komprehensif memang harus terus digaungkan untuk menghapus stigma tabu dan mitos di masyarakat. Pihaknya mengaku programnya tersebut harus didukung seluruh komponen yang diharapkan bisa menekan angka kasus tersebut.
“Program dari Kemen P3A, kami mengajarkan bagaimana sekolah yang ramah anak. Kemudian, kami membuat video edukatif, juga layanan bagi para orang tua berkonsultasi terkait ketidaktahuan untuk mengkomunikasikan dengan anak di pusat pembelajaran keluarga,” paparnya.
Sementara itu, Community of Practice Officer Siklus Indonesia, Putri Khatulistiwa mengungkapkan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif menjadi salah satu strategi untuk merespon tantangan remaja yang mulai mengenali tubuh, identitas dan hubungan dengan orang lain.
“Pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif akan berkontribusi dalam perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku remaja. Seperti remaja yang mulai menyadari perubahan perubahan
pada dirinya, mulai melakukan layanan konseling hingga layanan perlindungan hukum jika menjadi korban kekerasan seksual,” urai Putri. (riz/din)