Jakarta (pilar.id) – Tingginya angka pernikahan anak di Indonesia beberapa tahun belakangan membuat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) merasa khawatir. Ada banyak risiko yang bisa terjadi ketika anak-anak menikah dan membangun rumah tangga.
Mulai dari risiko kesehatan, risiko perpecahan keluarga karena mental yang belum siap dan dewasa, juga tidak terpenuhinya hak-hak anak karena menikah. Seperti hak mendapatkan pendidikan yang tinggi dan kemandirian ekonomi.
Terkait dengan hal ini, Kemen PPPA pun menyusun Rekomendasi Dispensasi Kawin Bagi Dinas PPPA di daerah yang akan segera disahkan pada tahun ini. Panduan dispensasi kawin ini, telah disusun sejak 2021 dan diharapkan bisa menjadi acuan serta Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pemberian dispensasi di daerah.
“Untuk melengkapi panduan tersebut, kami juga akan mengirimkan Surat Edaran Menteri PPPA kepada Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang akan diteruskan kepada Dinas PPPA sebagai dinas yang memiliki kewenangan dalam perlindungan anak, khususnya dari praktik perkawinan usia anak. Diharapkan pada 2022, Panduan dan surat edaran berkenaan tentang Rekomendasi Dispensasi Kawin akan rampung dan dapat segera diimplementasikan,” kata Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA Agustina Erni melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (17/2/2022).
Hal tersebut dilakukan mengingat tingginya angka dispensasi kawin pasca-disahkan-nya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas usia minimal untuk menikah menjadi 19 tahun.
Erni mengatakan, dengan terbitnya Panduan beserta Surat Edaran Menteri PPPA diharapkan mampu menekan tingginya permohonan dispensasi kawin, terutama bagi pemohon berusia anak. Hal itu merupakan upaya pemerintah mewujudkan pemenuhan hak anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
“Melalui Panduan Rekomendasi Dispensasi Kawin ini, Kemen PPPA juga berusaha memberikan pemahaman bagi pemohon dispensasi kawin, yaitu anak dan orang tua tentang dampak negatif perkawinan di usia anak, mulai dari dampak kesehatan, ekonomi, psikologis dan dampak lainnya sehingga para pemohon anak dan orang tuanya bersedia menunda atau membatalkan perkawinan anak tersebut,” imbuh Erni.
Kemen PPPA bersama seluruh pengampu urusan yang membidangi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak berkomitmen memastikan tumbuh kembang anak sesuai pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.
Serta, berupaya dalam menghapuskan perkawinan anak seperti yang tercantum pada target Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk menghapuskan semua praktik berbahaya. (lin/fat/antara)