Yogyakarta (pilar.id) – Sejarah Indonesia yang dipenuhi dengan peristiwa dan tokoh-tokoh penting sering menjadi inspirasi bagi berbagai karya seni. Dunia perfilman tidak terkecuali, dengan beberapa film seperti Soekarno (2013), Kartini (2017), Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), Sang Pencerah (2010), dan yang terbaru, Buya Hamka (2023), yang mengangkat latar belakang peristiwa bersejarah Indonesia.
Tidak hanya dalam dunia perfilman, sejarah juga menjadi inspirasi bagi banyak penulis. Buku seperti Laut Bercerita karya Leila S. Chudori yang mengambil latar tahun 1998, Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari yang berkisah tentang masa Orde Baru, Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang berlatar zaman Hindia Belanda, serta Gadis Kretek karya Ratih Kumala yang berpusat pada masa penjajahan, semuanya memiliki latar belakang sejarah.
Peristiwa politik tahun 1965 yang kelam juga mengilhami banyak karya fiksi. Contohnya adalah buku-buku seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Pulang karya Leila S. Chudori, dan Amba karya Laksmi Pamuntjak.
Semua karya ini mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan G30S atau PKI.
Salah satu karya yang mencuri perhatian adalah Roekiah 1965 karya Roe, yang terbit secara digital di platform Cabaca dan memiliki latar belakang politik tahun 1965.
“Buku Roekiah 1965 menceritakan perjalanan Roekiah dalam menggapai mimpinya menjadi pemain ludruk dan menemukan ibunya yang belum pernah ditemuinya,” ungkap Arga Dara Ramadhani, editor buku Roekiah 1965, Rabu (27/9/2023).
Editor buku Roekiah 1965 ini menambahkan, selama perjalanan hidupnya, Roekiah harus dihadapkan pada tuduhan sebagai simpatisan partai terlarang, hingga dicap sebagai gadis murahan yang menjual diri demi mencapai panggung ludruk.
Arga Dara menambahkan bahwa buku ini menggali sisi gelap peristiwa G30S tahun 1965, termasuk aspek ekonomi dan psikologis, serta upaya sang tokoh utama untuk menghidupkan kembali kesenian ludruk yang sempat dilarang pemerintah pasca-pemberontakan.
“Karakter Roekiah yang tekun dalam mencapai tujuannya, dari awal yang tidak tahu apa itu ludruk hingga menjadi penentu suara kebenaran dan kritik sosial terhadap pemerintahan, menjadikan buku ini unik,” jelasnya.
Selain itu, perjalanan Roekiah dalam mencari ibunya yang hilang pasca-pemberontakan juga menambah dimensi emosional yang mendalam. Meskipun buku ini bersifat fiksi, namun ada kelompok yang memiliki kenangan pahit tentang kehilangan keluarga akibat peristiwa G30S.
Fatimah Azzahrah, Co-Founder Cabaca, berharap bahwa novel Roekiah 1965 dapat memberikan warna dan sudut pandang baru terhadap isu PKI dalam dunia literasi. Ia juga berharap agar novel ini menginspirasi penulis Indonesia untuk lebih berani menjelajahi sejarah bangsanya sendiri dalam karya-karya mereka. (hdl)