Jakarta (pilar.id) – Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati, generasi muda memainkan peran strategis dalam mencapai target zero waste dan zero emission.
Dengan 70,72 persen penduduk Indonesia berusia produktif, diharapkan kontribusi mereka akan membantu negara mencapai masa keemasan pada tahun 2045.
Zero waste adalah konsep yang mendorong penggunaan produk sekali pakai dengan bijak untuk mengurangi dampak negatif dari sampah.
Sementara itu, zero emission atau nol emisi karbon adalah kondisi di mana emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi kapasitas penyerapan bumi.
Survei yang dilakukan oleh Jakpat melibatkan 990 generasi muda, terdiri dari Gen Z (40 persen) dan Milenial (60 persen), untuk menggali perspektif, implementasi, dan kendala mereka terhadap gerakan zero waste.
Hasilnya menunjukkan bahwa 78 persen generasi muda tertarik untuk terlibat dalam gerakan ini, dengan 16 persen di antaranya sudah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Durasi penerapan terbanyak adalah kurang dari 1 tahun.
Alasan Tertarik Gerakan Zero Waste
Generasi Z dan Milenial menunjukkan kesadaran akan pentingnya menjaga bumi, dengan 94 persen dari responden menyebutkan alasan ingin menjaga dan melestarikan bumi dengan mengurangi sampah.
Alasan lainnya termasuk menyelamatkan bumi dan memberikan warisan yang baik untuk generasi mendatang (48 persen), ketertarikan pada produk ramah lingkungan (22 persen), lingkungan sekitar yang menerapkan gerakan ini (14 persen), eksposur terhadap berita lingkungan (11 persen), dan inspirasi dari influencer (6 persen).
Aska Primardi, Head of Research Jakpat, menilai bahwa mayoritas generasi muda telah menyadari pentingnya isu zero waste, tetapi hanya sebagian kecil yang sudah mengimplementasikannya.
Dari survei ini, terlihat bahwa tren lingkungan sekitar dan inisiatif teman menjadi faktor penting dalam mengadopsi gerakan ini.
Implementasi Gerakan Zero Waste
Generasi muda menunjukkan komitmen mereka terhadap gerakan zero waste melalui tindakan praktis seperti menggunakan tote bag saat berbelanja (55 persen), tumbler (55 persen), dan mengurangi penggunaan plastik (54 persen).
Selain itu, berbelanja sesuai kebutuhan (49 persen), membawa tempat makan sendiri saat membeli makanan (46 persen), dan penggunaan produk eco-friendly (15 persen) juga menjadi bagian dari implementasi gerakan ini.
Dilihat dari segi Social Economic Status (SES), penggunaan produk eco-friendly paling banyak dilakukan oleh kalangan upper (21 persen), diikuti middle (13 persen), dan lower (10 persen).
Kendala Penerapan Gerakan Zero Waste
Kesulitan utama yang dirasakan adalah sulit menemukan waste bank terdekat. Selain itu, kurangnya dukungan dari keluarga atau lingkungan, terutama bagi mereka yang masih tinggal bersama orangtua, menjadi hambatan kedua dalam menerapkan gerakan zero waste. (riq/ted)