Jakarta (pilar.id) – Garapan musik instrumental orkestra buatan I Gusti Ngurah Adi Putra itu, diberi nama Pakeling. Sebuah nama yang diambil dari dasar kata eling atau ingat.
Orkestra musik instrumental tersebut, ia turut tampilkan di ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV untuk membawa pesan agar manusia tidak hanya ingat, namun harus dilanjutkan dengan berbuat sesuatu.
“Pakeling itu bagaimana kita harus menyikapi. Asal katanya eling yang berati ingat dan pakeling itu berarti ingat disertai dengan perbuatan,” kata I Gusti Ngurah Adi Putra di Taman Budaya Denpasar, Sabtu (22/10/2022) malam.
Pria yang biasa disapa Gung Alit itu di sela-sela pementasan Pakeling mengatakan garapan Pakeling merupakan hasil kolaborasi antara Rumah Budaya Penggak Men Mersi bersama Palawara Music Company, Gita Semara Band, dan Bona Alit.
Para seniman dari berbagai profesi musik ini menyajikan perpaduan musik dunia, dimainkan dengan cara yang unik, dan menggema dalam acara tersebut. Sajian musik ini direspons oleh penari kontemporer Adi Siput dan sastrawan I Wayan Jengki Sunarta.
Orkestra yang didukung puluhan seniman ini tersebut memberikan suasana beda dalam acara Selebrasi Bali Jani IV di ajang FSBJ. Garapan menonjolkan melodi dan harmoni yang didominasi oleh keyboard dan alat musik tradisi Bali.
“Melalui penampilan ini, kami ingin mengajak kita jangan hanya ingat tetapi dilanjutkan dengan perbuatan,” ujar Gung Alit.
Ia mengatakan, kalau dalam konteks bencana yang terjadi belakangan ini, manusia tidak hanya tahu penyebab dari cara menghadapi bencana itu, tetapi mesti diikuti dengan perbuatan menerjemahkan setelah ingat. Kalau sudah tahu yang menyebabkan, kemudian dihadapi bencana dengan melakukan sesuatu agar terhindar dari berbagai bentuk bencana.
“Ini juga menyangkut peduli sosial, tak sekadar ingat, tetapi yang penting melakukan. Di dalam sikap itu sudah pasti ada doa, dan di dalam doa belum tentu ada sikap. Harapannya harus melakukan sebuah usaha, sekecil apapun harus diwujudkan,” ujarnya.
Dalam pergelaran musik orkestra itu, tiga seniman muda berbakat, yaitu Ary Palawara, Pacet Dejavu, dan Gung Alit saling merajut dan merangkai nada demi nada, hingga menghasilkan musik harmoni.
“Di sini kita menceritakan kelahiran dunia dari pagi, siang hingga malam, siklus kehidupan. Saya melihat kehidupan hanya di hutan dan di laut. Pada pagi hari udaranya segar, suara burung dan binatang lainnya saling bersahutan. Suara alam di gunung dan di laut, itulah yang menjadi inspirasi dari musik orkestra ini,” ujar Ari Palawara.
Pukulan-pukulan musik itu mencirikan suasana nuansa balada, seakan membawa orang ke suasana pedalaman tradisi etnik yang kuat dalam sebuah daerah, seperti suasana nelayan di laut, hidup di tengah hutan.
Melodi dan dentuman drum menggambarkan kevpedalaman. Oleh karena itu, Ari Palawara memasukkan teknik gamelan Bali khususnya bilah gegenderan, dengan teknik memainkan kotekan, keklenongan, kempung, dan lainnya yang menggunakan bilah tujuh nada.
“Kami mencoba membuat sebuah modulasi dari patet hingga selaras dengan kromatik (nada yang dirangkai dalam musik barat),” ujarnya.
Pada bagian tertentu, Pacet Dejavu mengeksplorasi dengan jimbe yang menjadi bagian musik dunia. Jimbe alat musik dari dari Afrika memberikan aksen-aksen dan penekanan-penekanan pada setiap nada, seakan mengingatkan semua orang untuk eling.
“Jimbe adalah perkusi yang ritmenya menjadi pola utama, sedangkan dalam jimbe dalam konteks ini memberikan penekanan seakan rintihan melodi bak air. Sementara Erhu Rebab besar yang sudah disesuaikan dengan rasa Bali dimainkan oleh Gung Alit memberikan suasana alam tenang dan harmoni,” ucapnya. (fat)