Surabaya (pilar.id) – Dalam kurun beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan kepada perempuan cukup banyak terjadi di Indonesia. Mulai dari kekerasan rumah tangga sampai kekerasan seksual kepada perempuan dan anak.
Beberapa kasus kekerasan kepada perempuan tersebut, jika ditelusuri lebih lanjut, terjadi akibat pernikahan dini yang angkanya di Indonesia juga masih cukup tinggi. Menikahkan anak-anak yang belum matang, rentan menyebabkan kasus kekerasan kepada perempuan yang di masyarakat Indonesia peran dan daya tawarnya memang masih belum kuat.
Perakra terkait peran perempuan, kekerasan terhadap perempuan, pernikahan dini dan penguatan peran perempuan ini, menjadi pokok bahasan yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak saat mengisi Seminar Nasional FSPLGY di Auditorium Rektorat Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, Sabtu (19/11/2022).
“Seberapa sering kita mendengar orang tua yang bilang ke anak perempuannya yang ingin S2, ‘Gak nikah dulu, Nak?’ Tetapi tidak ke anak laki-laki? Padahal, kalau menikah saat kedua mempelai belum matang, yang paling rugi adalah pihak perempuan,” terang Emil Dardak.
Adanya bias di masyarakat terkait perempuan dan laki-laki memang banyak terjadi di Indonesia. Menurut Emil, hal tersebut, terjadi akibat kultur di masyarakat yang memang masih menganggap kerja-kerja perempuan adalah perkara wajar dan tak perlu mendapat apresiasi.
Hal tersebut dijumpainya, saat ia mengerjakan disertasi doktoral dengan datang ke suatu daerah penyuplai sapi perah dan sapi potong.
“Ternyata yang memikul rumput, membawa dagangan ke pasar, dan mengurus ternak justru ibu-ibu. Hanya saja status mereka hanya membantu perekonomian keluarga. Wanita ini sering taken for granted,” kisahnya.
Padahal menurut Emil, di Indonesia amanat terkait kesetaraan gender sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yang target kesetaraan gender ada di Rencana Pembangunan Jangka Menengah 4 tahun 2020-2024.
“Isu kesetaraan gender, merupakan isu menarik di banyak negara. Bahkan, diskusi tentang perbedaan equality dan equity juga masih berlangsung,” terang Emil.
Meski begitu, salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi, ialah maraknya perkawinan dini. Terlebih, masyarakat sering menganggap bahwa probabilitas menikah seorang perempuan akan menurun seiring bertambahnya umur dan level edukasi.
Masalah lainnya yang sering ditemukan, mantan Bupati Trenggalek adalah tingginya kekerasan terhadap perempuan.
Hal tersebut dibuktikan dengan survey pengalaman hidup perempuan nasional 2016, yang mengungkap bahwa satu dari tiga perempuan usia 15 sampai 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual sepanjang hidupnya.
“Dan seringkali diperparah dengan asumsi masyarakat, jika menjadi janda jauh lebih berat daripada tetap di hubungan yang oppressive. Makanya perempuan kita lebih cenderung bertahan daripada melawan,” tuturnya.
Maka dari itu, demi menyelesaikan dan meminimalisir isu-isu gender tersebut, Emil mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Jatim sudah berusaha mengamalkan amanat kesetaraan gender.
Seperti memberlakukan Perda Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan program Jatim Puspa.
“Dalam pembangunan, perspektif gender menjadi penting untuk mewujudkan keadilan sosial. Maka kita butuh kebijakan yang tidak bias dan kesadaran kesetaraan gender. Di lingkungan Pemprov, yang tidak memandang gender,” harapnya.
Tak hanya itu, kesetaraan gender juga usaha menuju Sustainable Development Goals (SGDs) atau tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang dibutuhkan 12 penguatan peran perempuan untuk mencapainya.
Penguatan itu antara lain mengakhiri diskriminasi, menghilangkan kekerasan dan pernikahan usia dini, penghargaan kerja domestik, kebijakan perlindungan sosial, kepemimpinan politik, akses universal bagi kesehatan, hak reproduksi, hak akan sumber daya ekonomi, akses pada sumber daya alam, pemberdayaan teknologi komunikasi dan informasi, serta penerapan hukum.
“Garis besar dari ini, jika membicarakan kesetaraan gender, jangan hanya sekedar teoritis tapi faktual. Don’t talk about others, talk about yourself. Hal-hal seperti itu harus dibahas, agar bisa menciptakan ekosistem yang suportif,” tutup Emil. (jel/fat)