Jakarta (pilar.id) – Banyaknya artis nasional diajukan sebagai calon anggota legislatif dan menjadi perhatian publik. Menurut Adrian Wijanarko, Direktur Penelitian Paramadina Public Policy (PPPI), pencalonan tokoh publik dalam pesta demokrasi adalah proses instan dan tidak memberikan dampak positif pada demokrasi itu sendiri.
Adrian menjelaskan, “Saat ini banyak partai politik yang memilih cara ‘instan’ untuk menarik perhatian masyarakat. Mereka lebih fokus pada popularitas daripada menjual ide-ide. Ini merupakan jalan pintas untuk mendapatkan suara terbanyak”.
Sebanyak 10 partai politik telah mendaftarkan tokoh publik sebagai calon legislatif ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan partai politik dengan jumlah nama artis terbanyak dalam bursa calon legislatif Pemilu 2024. Selain PAN, Partai PDIP, Perindo, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, Golkar, PSI, dan PKS juga mendaftarkan tokoh publik ke KPU.
Strategi ini terbukti sukses pada pemilu sebelumnya. Beberapa tokoh publik berhasil terpilih menjadi anggota dewan atau pejabat daerah. Namun, Adrian mengungkapkan bahwa ini adalah pendekatan yang tidak berkelanjutan dan tidak memberikan nilai yang signifikan bagi demokrasi.
Adrian membandingkan pemilu dengan kontes kecantikan. Kontes kecantikan hanya menekankan pada penampilan fisik dan popularitas kontestan, sedangkan demokrasi berkaitan dengan masa depan kehidupan masyarakat.
“Memilih berdasarkan popularitas adalah tindakan yang tidak masuk akal. Popularitas seharusnya menjadi pertimbangan terakhir dalam memilih wakil rakyat. Latar belakang, program, dan kebijakan yang diusung harus menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan umum,” ungkap Adrian.
Gagasan Marketing Politik
Adrian juga merujuk pada pembahasan Firmanzah dalam bukunya “Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas”, yang mengaitkan fenomena publik figur dalam politik Indonesia dengan konsep pemasaran politik.
Menurut Firmanzah, ide-ide politik seperti gagasan, isu politik, ideologi partai, karakteristik pemimpin partai, dan program kerja memerlukan strategi agar diterima oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, konsep pemasaran politik menjadi penting dalam kegiatan partai politik.
Adrian menyatakan bahwa kegiatan pemasaran politik yang dilakukan oleh partai politik merupakan hal positif karena dapat memperkenalkan ide-ide politik yang diterima oleh masyarakat dan menciptakan suasana demokratis.
Namun, marketing politik juga dapat berpotensi negatif. Partai politik dapat menggunakan kegiatan pemasaran tanpa memiliki ide atau gagasan yang jelas.
Ketika tidak ada ide atau gagasan yang jelas, masyarakat merasa tidak puas terhadap tokoh yang dipilih dalam pemilu. Akibatnya, rasa apatis terhadap kegiatan demokrasi dapat meningkat dalam jangka panjang.
“Partai politik yang menggunakan popularitas publik figur sebagai strategi pemasaran untuk mendapatkan suara sebenarnya tidak memiliki ide atau gagasan yang jelas. Hal ini berbeda jika publik figur tersebut sudah melalui proses kaderisasi partai yang berkelanjutan,” jelas Adrian.
Adrian menjelaskan bahwa pemasaran politik harus didasarkan pada ide politik yang ditawarkan. Tanpa ide politik yang jelas, kegiatan pemasaran tidak akan efektif. Pemasaran yang hanya mengandalkan popularitas tidak memadai.
Terlebih lagi, publik figur yang diajukan dalam pemilihan umum cenderung direkrut secara praktis, bukan melalui proses kaderisasi partai yang terstruktur.
Nilai Demokrasi
Adrian menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi fenomena ini. Solusi pertama adalah melakukan penelusuran informasi secara mendalam tentang calon wakil rakyat. Pastikan bahwa calon yang dipilih memiliki program yang baik dan tidak hanya mengandalkan popularitas semata.
“Jika tidak memiliki waktu untuk mengikuti semua kegiatan pemilu, setidaknya lakukan pencarian informasi melalui sumber-sumber yang tersedia, seperti Google. Ini tidak akan memakan waktu lama.”
Solusi kedua adalah meningkatkan literasi demokrasi di kalangan masyarakat. Dengan meningkatkan literasi demokrasi, kualitas demokrasi yang dihasilkan akan lebih baik.
Adrian menambahkan bahwa memilih berdasarkan popularitas tidak akan memberikan solusi untuk permasalahan yang ada. Oleh karena itu, masyarakat perlu menjadi pemilih yang cerdas dalam proses demokrasi.
“Kita perlu menciptakan situasi di mana diskusi politik dan demokrasi adalah kegiatan yang normal dalam masyarakat dan keluarga. Perbedaan pandangan politik adalah hal yang wajar dan harus dihargai. Kedewasaan dalam menghadapi perbedaan adalah penting untuk meningkatkan literasi demokrasi di masyarakat,” ungkap Adrian.
“Jika kita memilih demokrasi sebagai cara terbaik untuk menjalankan negara, maka peningkatan pengetahuan tentang demokrasi itu sendiri perlu dilakukan secara berkala kepada masyarakat,” pungkas Adrian. (usm/hdl)