Jakarta (pilar.id) – Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku, etnis, ras, serta budaya. Maka, tak aneh jika Indonesai memiliki banyak sekali warisan budaya tak benda. Beberapa diantaranya, saat ini sedang hendak didaftarkan ke UNESCO. Antara lain, Reog Ponorogo, Budaya Jamu, tempe dan tenun tradisional.
Namun, proses ini kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan dari pihak-pihak terkait. Terutama di antara mereka yang mengusulkan dan ingin agar Reog Ponorogo dan Budaya Jamu bisa segera diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Intangable Cultural Heritage (ICH) UNESCO.
Masalahnya, hanya ada satu WBTB saja yang bisa didaftarkan. Prosesnya, Komite ICH UNESCO akan melakukan pemeriksaan terkait 4 nominasi WBTB Indonesia yang sudah disebut di atas. Jika Komite menyatakan layak untuk diinkripsi, hanya satu dari 4 WBTB tersebut yang boleh didaftarkan.
Kondisi ini membuat beberapa pihak berpolemik karena ingin agar budaya mereka yang segera diakui dan didaftarka lebih dahulu.
“Isu terakhir sudah menyangkut soal kalah dan menang antara kesenian reog dan budaya jamu. KSP tidak ingin perdebatan itu berlarut-larut. Makanya, hari ini kami mengundang bapak/ibu di sini,” kata Deputi II KSP Abetnego Tarigan saat membuka rakor, sebagaimana dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (21/4/2022).
Untuk mengurai polemik tersebut, Kantor Staf Presiden (KSP) akan menggelar rapat koordinasi (Rakor). Pihak-pihak yang akan hadir dalam rekor tersebut adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Pemerintah Kabupaten Ponorogo.
Abetnego mengatakan bahwa Kemendikbud melalui Direktorat Perlindungan kebudayaan sebaiknya melakukan pendalaman sebelum memutuskan WBTB yang akan diinkripsi oleh UNESCO agar ke depan tidak memunculkan keriuhan di tengah masyarakat.
“Kami berharap penentuan itu didasarkan pada kajian-kajian strategis, terutama melihat WBTB mana yang butuh perlindungan mendesak,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Direktur Perlindungan Kebudayaan Kemendikbud Irina Dewi Wanti menegaskan bahwa keputusan pemerintah memprioritaskan jamu untuk dibawa ke UNESCO masih belum final. Namun, dari hasil telaah Kemendikbud, kata Irina, pemilihan jamu sangat sesuai dengan kondisi saat ini.
“Dunia sekarang sedang sakit, mengalami pandemi COVID19. Lewat budaya jamu, Indonesia ingin menunjukkan bahwa kita punya pengetahuan tentang obat-obatan dan pengetahuan. Ini bukan hanya soal masa lalu, melainkan budaya ini terus digunakan oleh masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko yang hadir secara daring mengatakan bahwa masa pandemi benar-benar memukul nasib para seniman reog karena tidak bisa pentas atau manggung akibat adanya pembatasan kegiatan masyarakat.
Keputusan pemerintah yang lebih memprioritaskan jamu ke UNESCO, ujar dia, justru akan makin menyakiti perasaan para seniman.
“Kalau perlu saya bersimpuh pada Ibu Direktur agar bisa mengubah keputusan. Kami mohon, ini demi nasib para seniman reog bukan hanya di Ponorogo, melainkan juga di daerah lain,” pinta Heri Sukoco pada Direktur Perlindungan Kebudayaan Kemendikbud Irina Dewi Wanti.
Sebagai informasi, UNESCO hanya akan menginkripsi 50—55 elemen budaya tiap tahunnya pada daftar ICH UNESCO sehingga setiap negara memiliki kesempatan untuk menominasikan satu elemen budaya setiap 2 tahun.
Jika merujuk data Kemendikbud, Indonesia memiliki 1.528 elemen budaya yang belum didaftarkan ke UNESCO. Jika ribuan elemen budaya tersebut ingin diajukan sebagai WBTB ke UNESCO, diperkirakan butuh 3.000 tahun prosesnya. (fat)