Jakarta (pilar.id) – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa di Indonesia tidak pernah terjadi kekerasan politik sejak Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2004 silam.
Artinya, sepuluh tahun sudah, Indonesia berhasil bebas dari tindak kekerasan politik. Sehingga, menurut Hasyim, tren positif tersebut memiliki peluang besar untuk bisa terus di pertahankan untuk tahun-tahun mendatang.
“Sejak Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, hampir tidak ada yang namanya kekerasan politik dalam arti kekerasan fisik misalnya penculikan politik, pembunuhan politik,” ujar Hasyim melalui keterangannya di Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Hasyim mengatakan, kondisi sebaliknya justru terjadi di negara lain. Misalnya, di Filipina setiap pemimpi politiknya selalu memiliki pasukan vigilante bersenjata, yang bukan dari kalangan tentara maupun polisi.
“Seperti Meksiko misalkan, wali kota dibunuh itu biasa di sana. Yang bunuh siapa? Ya bandar-bandar narkoba,” kata Hasyim.
Padahal, Hasyim menilai sebetulnya konflik dalam suatu agenda politik seperti pemilu sudah pasti terjadi. Menurutnya, terjadinya konflik dalam pemilu adalah hal yang lumrah. Pemilu dan pilkada merupakan sebuah arena konflik yang sah serta legal.
“Presiden kursinya satu, DPR RI kursinya juga terbatas, tapi yang pengen banyak sekali. Sudah pastilah terjadi konflik,” ujar Hasyim.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, berbagai konten bermuatan politik identitas kerap disebarluaskan ke masyarakat lewat media sosial. Menurutnya, persoalan ini perlu dilakukan pengawasan. Hanya saja, Rahmat menilai jarang ada oknum penyebar konten politik identitas yang kemudian diproses hukum.
“Pidananya jarang kena. Karena ip adress-nya berubah-ubah, orangnya berubah-ubah, buzzer berubah-ubah juga,” ujar Rahmat. (ach/fat)