Jakarta (pilar.id) – Pakar keamanan siber Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menilai, sistem pengamanan data di Indonesia sangat buruk. Menurutnya, Indonesia sesungguhnya tidak berdaya menghadapi serangan hacker ketika situs kepresidenan sudah bisa diretas.
“Kalau bisa data sensitif bisa keluar kan, harus diingat kebocoran data bukan hanya sekarang,” kata Ardi, di Jakarta, Sabtu (10/9/2022).
Kebocoran data, lanjut Ardi, sudah dimulai sejak munculnya kartu kredit. Mereka melakukan peretasan secara bertahap. Ardi menyebut, kasus kebocoran data yang tidak dilaporkan sebenarnya lebih banyak. Termasuk, data-data Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dicurigai terjadi kebocoran pada 2013 dan 2018.
“Belum lagi kasus e-KTP, yang sekarang dituntaskan baru ditindak pidana korupsinya. Bagaimana dengan data yang bocor, yang disalin. Tidak pernah tuntas kan. Jadi data itu memang ada di luar,” kata Ardi.
Ardi menyebut, kebocoran data terjadi tidak terlepas dari peran ‘orang dalam’ atau oknum. Namun, kebocoran data juga bisa terjadi karena kelemahan sistem dipergunakan. Apalagi, pengembangan teknologi di Indonesia rata-rata menggunakan vendor atau pihak ketiga.
“Apakah vendor juga punya sertifikasi keamanan data? Belum tentu,” kata dia.
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Jemsly Hutabarat mengungkapkan, salah satu laporan kebocoran data yang masuk ke lembaganya adalah IndiHome. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukan adanya maladministrasi, penyimpangan prosedur, hingga penyalahgunaan wewenang di perusahaan tersebut.
“Jadi yang relatif berhubungan dengan ini adalah adanya ketidakkompetenan dari SDM yang ada di sana,” kata Jemsly. (ach/hdl)