Jakarta (pilar.id) – Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai, sumber masalah melonjaknya harga bahan pangan karena kemauan politik (political will) pemerintah sangat lemah. Lalu, tata kelola yang berkaitan dengan bahan pangan mudah diintervensi pihak-pihak tertentu. Belum lagi persoalan kurangnya kontrol atau pengawasan di lapangan.
“Sanksinya tidak ada. Tidak pernah ada yang tegas. Mereka yang menimbun barang tidak pernah ditindak,” kata Trubus kepada Pilar.id melalui sambungan telepon, Rabu (2/3/2022).
Belum lagi, kata Trubus, Indonesia masih sangat bergantung kepada pasokan bahan pangan impor. Pemerintah tidak benar-benar serius mengembangkan sektor pertanian dalam negeri. Padahal beberapa jenis bahan pangan bisa dikembangkan di Indonesia, misalnya kedelai.
Dari sengkarut yang ada itu, dia menilai, salah satu penyebab utamanya ialah menteri-menteri Jokowi berhalan sendiri-sendiri dan minim koordinasi. Para menteri hanya mengutamakan ego sektoral, sehingga muncul ketimpangan harga yang merugikan rakyat.
“Menteri perdagangan diganti. Karena masalah pangan itu hanya tinggal kemauan politik saja. Dari dulu selalu seperti itu, kalau mau ada hari besar pasti harga pangan naik. Pasti itu ada permainan,” tegasnya.
Lonjakan harga daging sapi diikuti oleh aksi mogok para penjual di sejumlah pasar. Pemerintah beralasan, lonjakan harga daging sapi dipicu oleh kenaikan harga sapi bakalan impor dari Australia.
Pada bulan Januari lalu, harga daging sapi bakalan impor naik menjadi US$4,2 bobot hidup, dari sebelumnya US$ 3,8 per kilogram. Kenaikan harga terus berlanjut hingga bulan Februari mencapai US$4,5 per kilogram.
Kenaikan harga daging sapi bakalan impor ini yang kemudian memicu lonjakan harga daging sapi secara signifikan di dalam negeri. Bila dirata-rata nasional, harga daging sapi pada 25 Februari 2022 sebesar Rp125.550 per kilogram, atau naik 4,9 persen dibanding periode serupa tahun lalu yang sebesar Rp119.750 per kilogram.
Adapun harga daging sapi tertinggi berada di Provinsi Aceh mencapai Rp140.650 per kilogram. Sedangkan harga komoditas itu di Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp140.000 per kilogram. (her/din)