Jakarta (pilar.id) – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi AS yang lebih kuat dari yang diperkirakan pada awal tahun 2024, terutama dalam hal ketenagakerjaan dan inflasi, memberikan dukungan bagi pandangan The Fed untuk tidak tergesa-gesa dalam menurunkan suku bunga.
Menurut Samuel Kesuma, CFA, Senior Portfolio Manager, Equity MAMI, Data ekonomi AS yang lebih kuat dari perkiraan telah mengubah ekspektasi di pasar.
“Pasar kini memperkirakan potongan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) pada tahun 2024 hanya sebesar 85 bps dari 150 bps pada awal tahun, sesuai dengan proyeksi dot plot The Fed,” katanya.
Meskipun demikian, lanjut dia, hal ini juga memicu volatilitas di pasar global, di mana imbal hasil US Treasury cenderung naik dan nilai tukar USD menguat.
“Namun, pandangan The Fed tetap optimis bahwa suku bunga dapat diturunkan tahun ini, seperti yang disampaikan oleh Ketua The Fed Jerome Powell dalam testimoni di Kongres AS,” tambah Samuel.
Ia juga menambahkan bahwa selama tiga siklus penurunan suku bunga sebelumnya, indikator makro dan pasar finansial Indonesia menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, siklus pemangkasan suku bunga The Fed tahun ini diharapkan dapat memberikan hasil yang serupa bagi Indonesia.
Dalam konteks ini, kondisi inflasi domestik yang terjaga memberikan peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga.
Namun, dalam jangka pendek, BI diperkirakan akan mempertahankan postur pro-stabilitas dengan menahan suku acuan di 6 persen, untuk menjaga selisih suku bunga yang menarik, terutama karena nilai tukar rupiah yang masih rentan terhadap sentimen global.
“Pelonggaran moneter diharapkan akan mendorong normalisasi likuiditas domestik setelah sebelumnya BI menjaga stabilitas eksternal dengan mengetatkan likuiditas. Peluang ini diperkirakan akan muncul bersamaan dengan pemangkasan suku bunga The Fed. Likuiditas yang lebih baik dapat memberikan dukungan lebih lanjut bagi aktivitas ekonomi dan sentimen di pasar keuangan. Selain itu, BI juga dapat menggunakan alat kebijakan non-suku bunga, seperti menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), sebelum akhirnya menurunkan suku bunga BI. Langkah ini sudah terbukti efektif dalam siklus penurunan suku bunga BI sebelumnya pada tahun 2015 dan 2019,” jelas Samuel.
“Kami optimis bahwa kondisi likuiditas yang membaik dan pelaksanaan pemilu yang aman akan mendukung penguatan pasar saham Indonesia secara berkelanjutan. Optimisme terhadap peningkatan aktivitas ekonomi dan kebijakan moneter yang lebih akomodatif diharapkan akan meningkatkan minat investor domestik serta aliran likuiditas ke pasar saham Indonesia,” tambahnya.
Dalam kondisi global yang dinamis, investor disarankan untuk menjaga keseimbangan dalam konstruksi portofolio mereka dengan menggabungkan elemen potensi katalis jangka pendek, defensif, dan potensi struktural jangka panjang.
Sebagai contoh, sektor perbankan, properti, tower telekomunikasi, dan konsumer non-primer diuntungkan dari pemangkasan suku bunga, sementara sektor telekomunikasi merupakan pilihan defensif karena karakteristik industri yang resilien. Adapun sektor yang berhubungan dengan bahan baku untuk industri energi baru terbarukan memiliki potensi pertumbuhan struktural, mengingat transisi menuju era dekarbonisasi menguntungkan bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang digunakan dalam teknologi energi baru terbarukan. (mad/hdl)