Probolinggo (pilar.id) – Gelombang fotografi digital telah membius orang-orang untuk bergerak merekam situasi sehari-hari. Mulai bangun tidur, makan, belajar, bermain, pesta, bahkan dalam situasi rumit di perjalanan.
Era mencetak foto mulai ditinggalkan. Orang cukup membuka kembali ingatan lewat layar gawai, dan laboratorium foto yang melayani cetak menghilang satu demi satu.
Di tengah situasi itu, sebuah teknik cetak foto kuno kembali dilakukan penggemar fotografi. Sebuah teknik cetak sederhana dengan menggunakan campuran dua bahan kimia yang dicairkan dan berefek peka terhadap cahaya.
Teknik cetak kuno bernama Cyanotype ini menurut Irwandi, Dekan Fakultas Seni Media Rekam (FSMR) Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, pertamakali diperkenalkan oleh Sir. John Herschel pada 1842.
“Melalui workshop Cyanotype di ketinggian 2000 mdpl kami mengajak orang-orang untuk mengenal dan mempraktikkan teknik cetak kuno yang mengasyikkan dengan bahan-bahan di sekitar rumah, selain dua bahan kimia potassium ferricyanide dan ferric ammonium citrate,” jelas Irwandi saat memandu workshop yang diselenggarakan 23 hingga 24 September 2022 di Padepokan Fotografi Bromo, Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Dalam workshop, setelah menyiapkan kertas dengan lapisan peka cahaya, peserta menempelkan ‘negatif film’ pada kertas tersebut, lalu menambahkan benda-benda sekitar seperti daun, bunga atau rumput untuk menambah kesan artistik.
Cahaya matahari yang menimpa kertas dalam waktu kurang lebih lima menit akan menampakkan detail obyek berwarna biru.
Proses selanjutnya, kertas dengan penampakan obyek tersebut dibersihkan dengan air untuk menghilangkan sisa cairan kimia untuk kemudian dijemur sebagai tahap akhir proses pencetakan.
Yanuar, salah satu peserta workshop mengatakan, pengetahuan cetak kuno ini memberikan keterampilan baru baginya.
”Teknik cetak kuno ini ternyata bisa diterapkan di masa kini, jadi cukup mengedukasi kami yang selama ini bergerak di hobi fotografi,” jelas mahasiswa Universitas Semarang ini.
Di akhir kegiatan, seluruh peserta berpartisipasi dengan membuat cetakan bergambar diri mereka di atas kanvas berukuran 3 x 1,6 meter.
“Hingga tahun 2021, peringatan World Cyanotype Day (CD) belum pernah dilakukan di Indonesia. Momentum workshop Cyanotype di ketinggian 2000 mdpl Padepokan Fotografi Bromo (PFB) ini menjadi penanda perayaan WCD di Indonesia,” imbuh Irwandi, yang menjadi salah satu pendiri PFB. (muk/hdl)