Surabaya (pilar.id) – Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh positif. Di triwulan II 2022, pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,44 persen.
Meski demikian, pemerintah diingatkan untuk tetap berhati-hati. Kondisi ekonomi dunia ke depan masih belum bisa dikatakan stabil.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Badri Munir Sukoco menilai, pertumbuhan yang terjadi menandakan mulai pulihnya ekonomi usai hantaman pandemi Covid-19. Tetapi, dia memprediksi pemulihan bakal berlangsung secara bertahap pada setiap sektor.
“Setiap sektor yang ada di dalam ekonomi kita pulihnya itu bertahap. Ada yang cepat, ada yang lambat,” ujar Badri dalam Focus Group Discussion (FGD) Economic Outlook 2023 yang digelar di Java Paragon Surabaya, ditulis Jumat (19/8/2022).
Badri memandang paparan Jokowi Rabu lalu menimbulkan optimisme terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Tetapi di saat yang sama, Jokowi juga mengajak semua pihak untuk tetap ‘Eling lan Waspodo’ (sadar dan waspada).
“Ini dilakukan karena sebelumnya kita tidak pernah menduga Rusia menyerang Ukraina, kita juga tidak tahu sebelumnya bahwa 40 persen gandum kita disuplai dari Ukraina,” terang dia.
Namun demikian, Badri menilai Indonesia tetap harus optimistis ekonomi ke depan dapat tumbuh sesuai target. Ini mengingat sebanyak 60 hingga 65 persen perekonomian nasional ditopang oleh permintaan dalam negeri yang ternyata dapat dipenuhi dari komoditas domestik.
Kondisi inilah, terang Badri, yang mampu menahan inflasi di Indonesia bertahan di level rendah. Berbeda dengan negara lain yang mengalami inflasi tinggi akibat permintaan domestik mereka tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri.
“Indonesia inflasi juga naik, tapi yang paling penting adalah bagaimana dampaknya dan mengatasinya,” ucap dia.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Bidang Kerjasama Antarlembaga Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Fitradjaja Purnama menilai perekonomian Indonesia sudah menggeliat. Namun demikian, kondisi ini belum bisa dikatakan normal atau kembali seperti sebelum pandemi Covid-19 melanda.
“Tetapi kita sudah bisa percaya diri, sudah bisa optimistis karena kita tumbuh. Berarti kita ada income, berarti kita punya daya beli bagus, kemampuan savingnya bagus, berarti kemampuan investasi juga bagus,” kata dia.
Namun demikian, Fitra mengingatkan saat ini perekonomian sedang dibayang-bayangi ancaman inflasi yang tinggi. Sehingga perputaran ekonomi harus dijalankan secara hati-hati.
Fitra juga menerangkan adanya sejumlah masalah yang dihadapi Indonesia seperti maraknya impor barang konsumsi. Di 2021, nilai impor B-to-C (Business to Consument/produsen langsung ke konsumen) lewat e-commerce mencapai lebih dari Rp260 triliun.
Dari nilai tersebut, produsen dalam negeri hanya menempati porsi sekitar 6 persen lebih. Sehingga tidak berdampak besar pada pertumbuhan perekonomian nasional maupun daerah.
“Kita dibayang-bayangi pola impor konsumsi dan laju inflasi. Kalau impor untuk produksi, kita bisa lega. Tapi impor untuk konsumsi, tingkat daya konsumsi seperti ini, ini perlu diwaspadai,” kata dia.
Tak hanya itu, Fitra juga mengingatkan tentang potensi krisis energi dan pangan. Krisis energi mungkin hanya terpantau lewat pemberitaan namun krisis pangan sudah mulai dirasakan dampaknya.
Sementara, Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Jawa Timur, Sumrambah, mendorong pemerintah segera menerapkan kebijakan di sektor pertanian, peternakan, maupun perikanan yang mendorong peningkatan produktivitas. Ini penting diterapkan mengingat potensi krisis pangan mulai terlihat.
Sumrambah mengungkapkan dari sektor pertanian terjadi penyusutan lahan yang cukup mengkhawatirkan. Data BPA 2012 mencatat, lahan pertanian di Indonesia tercatat seluas 8,4 hektare namun pada 2019, luasannya turun menjadi 7,4 hektare.
“Ketika lahan semakin sedikit, kita akan menghadapi krisis pangan,” kata dia.
Dia pun menegaskan penyelamatan lahan pertanian perlu segera dilakukan. Jika tidak, potensi penyusutan lahan pertanian menjadi non pertanian akan semakin besar.
“Kalau kita tetap seperti saat ini, dan tidak menyelematkan lahan pertanian maka pada 2045, lahan pertanian bisa menyusut jadi 6,3 juta ha. Sementara populasi penduduk semakin meningkat, sehingga berpotensi terjadi krisis pangan berkelanjutan,” ucap dia. (beq)