Jakarta (pilar.id) – Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, mengatakan, angkutan umum (penumpang dan barang) yang mengalami kecelakaan lalu lintas harus dilakukan penyelidikan untuk memberikan efek jera kepada siapapun yang terkait dengan kegiatan perjalanan.
“Hal itu agar pengusaha pun tidak mudah main investasi tanpa memikirkan risiko-risiko yang akan dihadapinya. Karena kalau tidak ada ijin atau mati KPS-nya, Ditjenhubdat Kemenhub tidak bisa berbuat apa-apa. Termasuk jika ada kesalahan di pengemudi juga harus ditindak lanjut,” kata Djoko, Sabtu (21/5/2022).
Saat ini, kata Djoko, sekitar 60 persen (terutama di daerah luar Jawa) banyak sekali operasi bus wisata dengan nomor kendaraaan luar daerahnya (terutama dari Pulau Jawa).
Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Ditjenhubdat di daerah sudah melakukan upaya mendorong para pengusaha tersebut untuk mengurus ijin ke Ditjenhubdat, namun banyak pengusaha otobus (PO) tersebut tidak mau melakukannya dengan berbagai alasan.
“Intinya, karena mereka sudah dapat operasi di jalan dan tidak ada yang ganggu jadi buat apa susah-susah balik nama terus buat izin,” kata dia.
Menurutnya, setiap kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum hanya berhenti dan menjadikan tersangka pengemudi. “Pengemudi menjadi tumbal pengusaha yang tamak,” tegasnya.
Oleh sebab itu, lanjut Djoko, tidak akan menurun angka kecelakaan angkutan umum jika tidak dilakukan pengusutan yang tuntas. Masyarakat yang menjadi korban kecelakaan juga jelas dirugikan. Selama ini penyebab kecelakaan tersebut selalu hampir sama, yakni kelelahan mengemudi.
Kelelahan mengemudi dapat disebabkan manajemen perusahaan angkutan umum yang tidak mau menerapkan sistem manajemen keselamatan (SMK).
“Perusahaan angkutan umum yang sudah menerapkan SMK dapat meminimalkan terjadinya kecelakaan lalu lintas,” tukas Djoko.(her/hdl)