Jakarta (pilar.id) – Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Achmad Nur Hidayat menilai pengelolaan sektor kesehatan di Indonesia hingga saat ini masih belum membanggakan.
Politisi Partai Gelora tersebut menyebut bahwa pemerintah belum mampu mengelola sektor kesehatan sesuai dengan amanah UUD 1945. Dimana, jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan saat ini dinilai masih kurang secara kualitas dan kuantitas.
Salah satu contoh belum mampunya pemerintah mengelola sektor kesehatan dengan baik ditunjukkan oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, dimana, di seluruh Indonesia ada 3.112 rumah sakit.
Jumlah tersebut, dinilai belum mencukupi untuk memberikan layanan kesehatan ke seluruh masyarakat Indonesia yang pada tahun 2022 tercatat mencapai 275,7 juta jiwa.
“Artinya, rasionya sangat tidak berimbang. 1 rumah sakit melayani 88.367 penduduk,” kata Achmad, dalam keterangannya, Senin (13/3/2023).
Menurut Achmad, jika melihat kondisi saat ini, pelayanan kesehatan Indonesia ternyata masih jauh dari apa yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945 seperti pasal 28 H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3. Sebab, banyak sekali masyarakat yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak dan baik.
“Bagi orang kecil kondisi tersebut diterima dengan pasrah, sementara bagi orang berduit akan mencari layanan kesehatan terbaik di luar negeri,” katanya.
Ia menilai sindiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat meresmikan Rumah Sakit (RS) Mayapada beberapa waktu lalu, yang menyampaikan bahwa masih banyak masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri, harusnya menjadi intropeksi bagi pemerintah sendiri untuk meningkatkan pelayanan sektor kesehatan.
Dalam kesempatan itu, Jokowi menyebutkan hampir 2 juta warga negara Indonesia (WNI) setiap tahun berobat ke rumah sakit di negara lain seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Jerman, dan lain-lain.
Selain itu, Jokowi juga mengeluhkan ada potential income/devisa loss sebesar Rp165 triliun akibat WNI yang berobat keluar negeri. Presiden, kata Achmad, ingin Rp165 triliun tersebut tetap ada di Indonesia, bukan ke Malaysia, Singapura, Jepang dan Jerman.
“Tetapi, pidato itu juga memiliki arti lain bahwa dana Rp165 triliun itu harus jatuh ke pengusaha rumah sakit dan alat kesehatan nasional daripada memang niat memperbaiki sektor kesehatan Indonesia,” ujarnya.
Bahkan, kata Madnur-sapaan akrab Achmad Nur Hidayat, keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) selama ini justru lebih dinikmati oleh pemilik modal RS maupun pengusaha obat dan alat kesehatan (alkes), ketimbang dinikmati masyarakat.
BPJS juga dinilai belum mampu menjalankan fungsinya untuk memperbaiki sektor kesehatan Indonesia. Dalam evaluasi BPJS Kesehatan Indonesia, menyebutkan bahwa 40 persen dana BPJS tersebut jatuh ke pemilik RS.
Sedangkan 40 persen lainnya dinikmati pemilik industri alat kesehatan dan obat-obatan. Sisanya sebesar 20 persen ke layanan jasa tenaga medis.
“Jika mau dibongkar, pemilik modal baik RS maupun industri obat sudah mendapatkan manfaat 80 persen dari biaya BPJS yang dibayar melalui iuran rakyat dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata dia.
Kini, lanjut Madnur, pemilik modal berusaha ingin mendapatkan fasilitas lebih lagi melalui RUU Omnibus Law Kesehatan. Mereka berupaya membajak RUU Omnibus Law kesehatan untuk kepentingan memperkaya diri di balik keinginan mempercanggih layanan kesehatan publik.
“Kehadiran pemilik dan pengusaha sektor kesehatan diperlukan dan sangat penting mendukung reformasi kesehatan Indonesia, namun bukan berarti pemilik modal tersebut dapat membeli penguasa demi keuntungan yang tidak seimbang antara publik dan pihak pemilik modal,” ujarnya.
Madnur menegaskan, draf RUU Omnibus Law Kesehatan berpotensi memiskinkan publik dan memperkaya pemilik modal kesehatan dan memunculkan kediktatoran di sektor kesehatan.
Misalnya, pasal 4 ayat (2) RUU tersebut menyebutkan warga negara tidak diberikan hak untuk menentukan layanan kesehatannya sendiri, tapi dipaksa untuk mengikuti tindakan yang dilakukan pemerintah yang belum tentu cocok dengan treatment yang semestinya diberikan kepada individu-individu yang mempunyai imunitas dan kondisi yang berbeda-beda.
Sementara di pasal 5 RUU tersebut menyebutkan, negara bisa melakukan tindakan paksa dan sewenang-wenang tanpa akuntabilitas yang dapat disalahgunakan. Seperti memaksakan penggunaan vaksin yang faktanya eksistensinya untuk mencegah orang agar tidak sakit, bukan mencegah orang agar tidak tertular.
“Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memastikan masyarakat bisa melakukan pola hidup sehat dan mendapatkan cukup nutrisi sehingga mempunyai sistem imun yang baik,” kata Madnur. (ach/fat)