Jakarta (pilar.id) – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mendorong dihidupkannya lagi Ketetapan (TAP) MPR RI. Hal itu dilakukan untuk mengurai problem konstitusional dan ketatanegaraan saat ini.
Fahri menjelaskan, TAP MPR berada pada di urutan kedua di bawah UUD 1945 dalam hirarki peraturan perundangan. TAP MPR, diatur dalam pasal 7 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan Ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPRS dan TAP MPR sampai tahun 2002.
“Artinya, MPR RI tidak lagi bisa membuat ketetapan, karena ketetapan produk di atas tahun 2002 tidak masuk dalam hirarki peraturan perundangan. Maka penjelasan Pasal 7 UU 12 Tahun 2011 mutlak harus dihapus dengan Revisi Undang-Undang,” ujar Fahri, di Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Dengan dihapusnya pasal tersebut, diharapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) bisa ditetapkan sebagai TAP MPR. Menurut Fahri, TAP MPR harus lahir dalam keadaan darurat. Bisa dikatakan sebagai Perppu di kamar legislatif untuk melakukan koreksi jalur cepat ketatanegaraan.
Oleh sebab itu, perlu dipikirkan secara lebih serius situasi ke depan yang diakibatkan oleh pembiaran terus menerus dan kesalahpahaman yang tidak ada jalan keluarnya atau jalan buntu konstitusi (constitutional deadlock), baik oleh DPR, presiden maupun Mahkamah Konstitusi (MK).
Senada, Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan Indonesia perlu segera menyiapkan langkah-langkah antisipasi terjadinya situasi darurat konstitusi atau kedaruratan yang memaksa tidak dapat terlaksananya konstitusi. Langkah ini diyakini dapat menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara termasuk dalam upaya menghadirkan kembali PPHN sebagai peta jalan pembangunan bangsa.
Langkah antisipasi tersebut dengan cara mengembalikan kewenangan MPR RI menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR, jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antarlembaga negara atau antar-cabang kekuasaan.
“Menurut saya, TAP MPR merupakan salah satu solusi manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan kedaruratan atau kegentingan yang memaksa, seperti halnya Presiden yang memiliki kewenangan PERPPU manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan yang memaksa,” ujar Bamsoet.
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil menilai, PPHN diperlukan jika memang banyak permasalahan negara yang disebabkan karena tidak adanya haluan negara dalam pembangunan nasional.
“Kita butuh konsistensi dan berkesinambungan dalam melanjutkan agenda pembangunan nasional. Karenanya, menghadirkan PPHN tanpa amandemen ini sesuatu yang masuk akal. Bisa saja kita lakukan tidak harus ada operasi konstitusi,” kata Nasir. (ach/hdl)