Surabaya (pilar.id) – Meskipun terjadi gelombang modernisasi yang mengubah banyak hal, tradisi dan nilai budaya masih menjadi kekuatan yang teguh bagi sebagian masyarakat Madura.
Salah satu tradisi yang masih dipegang erat adalah abekalan, di mana anak-anak dijodohkan sejak dini. Setelah video viral mengenai pertunangan anak, perbincangan publik kembali ramai tentang tradisi ini.
Tidak hanya menjadi sorotan sosiolog, tetapi fenomena ini juga menarik perhatian Psikolog Keluarga dan Anak dari Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Nurul Hartini S Psi M Kes Psikolog.
Prof Nurul mengungkapkan bahwa meskipun tradisi abekalan masih ada, sebagian masyarakat Madura mulai meninggalkannya seiring dengan perubahan budaya. Menurutnya, pergeseran ini menandai peningkatan pendidikan dan kesejahteraan anak.
Menurut Prof Nurul, pemahaman orang tua tentang tugas mereka dalam mendukung perkembangan anak sangat penting. “Setiap tahap perkembangan anak memiliki tugas yang berbeda. Anak-anak di bawah usia enam tahun seharusnya lebih fokus pada eksplorasi sensorik, motorik, dan kesiapan belajar,” jelasnya.
Psikolog UNAIR menekankan bahwa masa ini, yang disebut golden age, penting untuk mengeksplorasi kemampuan dan minat anak-anak. Eksplorasi ini membangun kemandirian dan minat sesuai dengan bakat mereka.
Prof Nurul menyatakan bahwa belum jelas apakah tradisi ini menghambat anak-anak dalam berinteraksi sosial di sekolah. Namun, ia menekankan bahwa di usia tersebut, anak-anak belajar berkolaborasi dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan.
Aspek Psikologis
Dari sudut pandang psikologis, Prof Nurul menyatakan bahwa remaja mulai mempertimbangkan hubungan intim sejak remaja. Secara hukum, kematangan psikologis terbentuk saat seseorang memasuki usia dua puluhan.
“Secara psikologis, seseorang mulai mempertimbangkan hubungan komitmen saat memasuki usia dewasa awal. Undang-undang pernikahan menetapkan usia 19 tahun sebagai batas minimal untuk menikah, karena itulah saat individu mulai memahami pendidikan secara psikologis,” jelasnya.
Prof Nurul juga mencatat bahwa tradisi ini dapat memengaruhi kesehatan mental anak, meskipun dampaknya belum jelas. Selain itu, ia menyoroti faktor-faktor lain seperti pembelajaran sosial dan kesehatan mental serta fisik.
Meskipun memiliki pertimbangan tertentu terkait tradisi ini, Prof Nurul menegaskan bahwa orang tua dan budaya tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Menurutnya, komunitas dan tokoh masyarakat memiliki peran penting dalam memberikan edukasi dan pengaruh positif.
“Perubahan akan terjadi melalui edukasi yang baik dan literasi yang positif. Pendidikan dan literasi yang konstruktif jauh lebih penting daripada menyalahkan,” tambahnya.
Prof Nurul merekomendasikan pendekatan pendidikan melalui lingkungan dan pola asuh yang konstruktif. “Perlakuan orang tua dan lingkungan akan berdampak pada perilaku anak. Pola asuh yang mendukung akan membantu perkembangan anak,” tutupnya. (ret/hdl)