Jakarta (pilar.id) – Berwirausaha merupakan pilihan profesionalisme masa depan bagi para mahasiswa setelah mereka lulus studi nantinya. Peluang berwirausaha bagi generasi muda di Indonesia sangat terbuka. Trennya pun terus meningkat.
Akademisi sekaligus praktisi eduprenuership, Astrid Widayani mengatakan, Indonesia merupakan negara besar, baik dari sisi sumber daya ekonomi maupun pasarnya. Pendidikan di perguruan tinggi menjadi media dan wadah penggerak dan pengasah keahlian para mahasiswa mereka untuk bertumbuh menjadi calon wirausaha.
Kata dia, saat ini terlihat ada tren positif bahwa generasi muda setelah lulus dari perguruan tinggi memilih merintis usaha. Grafiknya terus meningkat. Persaingan kompetensi berwirusaha akan linier dengan minat berwirausaha kalangan muda tersebut.
“Sistem belajar dan mengajar yang mendorong minat dan keahlian mahasiswa untuk berorientasi menjadi seorang wirausaha secara dinamis perlu diciptakan dan keberlanjutan,” kata Astrid, Sabtu (16/4/2022).
Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Surakarta itu menyebutkan, para mahasiswa sebagai generasi muda yang ingin meraih kesuksesan di bidang kewirausahaan sangat bergantung dari niat yang dilengkapi dengan ilmu yang diperoleh, maka dapat menjadi bekal masa depan dalam memasuki dunia usaha.
Kewirausahaan yang dimaksud juga mencakup sebagai diri wirausaha, serta jika bekerja di dunia industri. “Ilmu itu pusatnya di perguruan tinggi, meskipun tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu, dunia pendidikan mesti menjalin kerja sama dengan industri,” kata dia.
Keberhasilannya tergantung dari proses belajar mengajar termasuk kurikulum yang dibangun di setiap perguruan tinggi. Sebelum kepada proses tersebut, maka penekanannya pada pola pikir kewirausahaan para dosen dan semua pemangku kepentingan di dalamnya perlu diperkuat terlebih dahulu.
Kebijakan Kemendikbud sudah sangat jelas dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Proses belajar dan mengajar harus diatur sedemikian rupa bersama-sama dengan praktiknya di dunia industri, serta kuliah lintas program studi di internal dan eksternal perguruan tinggi dalam negeri atau luar negeri.
Dari sana pendidikan kewirausahaan akan menjadi lebih dapat dipahami oleh para mahasiswa, karena mereka mengalami berpraktik atau magang selama kuliah sesuai desain kurikulumnya. Demikian juga lintas ilmu diperoleh sebagai input kemampuan jika menempuh lintas program studi.
Menurut Astrid, MBKM masih menjadi pekerjaan rumah bagi setiap perguruan tinggi, dan peran pemerintah masih diperlukan dukungannya dalam mengimplementasikan. Namun demikian, dalam konteks praktik hal itu sudah dapat dirintis dan dikembangkan di internal perguruan tinggi melalui pusat inovasi dan kewirausahaan.
Departemental atau kelembagaan tersebut sekaligus menjadi tempat berpraktik wirausaha oleh para mahasiswa, dan juga menjadi bagian pemberdayaan ekonomi di lingkungan perguruan tinggi. Kemajuan baru di era digital sekarang menjadi keniscayaan pemanfaatnya bagi semua perguruan tinggi dalam proses belajar mengajar, dan itu jelas terkait pula dengan kewirausahaan.
“Para mahasiswa perlu mendapat pengetahuan akademik dan pengalaman praktiknya sebelum nanti terjun sebagai wirausaha, termasuk jika memilih bekerja di dunia industri. Hard skill dan soft skill harus mulai diperoleh pada saat meniti studi di bangku kuliah mereka,” kata dia.
Ekonom Universitas Surakarta Agus Trihatmoko mengatakan, sebuah kesadaran diri oleh para mahasiswa untuk meminati bidang kewirausahaan memang harus diawali oleh pola pikir para dosen mereka. Arahnya yaitu membentuk pola pikir kewirausahaan di perguruan tinggi tercipta secara kolektif dengan sistem terintegrasi, dari sisi manajemen institusi dengan penyelenggaraan pembelajaran atau perkuliahan.
Hal tersebut relevan dengan arah pembangunan perekonomian Indonesia menuju kesejahteraan nasional ke depan. Dalam konteks ini, maka pendekatan teoritis dan konsepsinya harus terus digali dan dikembangkan oleh insan perguruan tinggi dengan penelitian-penelitian terkini.
Pertama, dalam bingkai manajemen strategik dan tata kelola perguruan tinggi, dengan pendekatan teori institusional. Kedua, kerangka kerjanya dengan pendekatan perilaku berwirausaha (entrepreneurial behavior) dan perilaku organisasional ‘para dosen’ dalam membangun dan menerapkan proses belajar mengajar (learning and teaching behavior).
“Basik dari teoretis yang dimaksudkan kemudian diperdalam untuk membangun mindset kewirausahaan dengan perluasan teori-teori baru, yaitu institutional culture, intention dan motivation, habit of student, ability, dan lainnya,” kata Agus.
Tinjauan teori dan konsep-konsep tersebut juga memberikan peluang untuk diperluas dengan manajemen bisnis dan program MBKM, termasuk digitalisasi ekonomi. Misalnya mencakup konsep-konsep yang relevan yaitu strategic management, institusional governance, corporate governance.
Tentunya, hal itu kembali pada tujuan awalnya yaitu membangun mindset kewirausahaan di lingkungan perguruan tinggi. Capaian yang diharapkan adalah peningkatan keahlian (up skill) sebagai pengembangan keahlian umum (general skill), bagi para mahasiswa.
Agus menambahkan catatan bahwa penelitian itu sangat penting sesuai konteks negara dan masyarakatnya, dengan tetap mengkaitkan faktual perkembangan perekonomian global. “Peluang penelitian tersebut dapat ditempuh dengan metode kuantitatif atau kualitatif menurut permasalahan dan teori-teori yang ingin dipecahkan atau ingin ditemukan solusi konsepsinya,” kata dia. her/din)