Jakarta (pilar.id) – Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini menilai, almarhum Buya Syafii Maarif tidak hanya membela kaum mayoritas, tetapi juga melindungi minoritas dengan memberikan pandangan dan pikiran yang plural. Maka tak heran dia dicintai kaum agamawan, nasionalis, dan sebagainya.
“Menurut saya, tokoh seperti Buya Syafii Maarif penting dalam politik Indonesia,” kata Didik, Sabtu (28/5/2022).
Di antara tokoh politik senior, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Prabowo Subianto, hingga Megawati Soekarnoputri, dia menilai, tidak boleh vulgar menunjukkan kebencian satu sama lain. Menurutnya, para tokoh politik senior tersebut sejatinya bertanding secara sehat dan tidak perlu mengumbar kebencian satu sama lain.
Sebab, kalau pemimpinnya saja berkelahi maka bawahannya juga berpotensi menimbulkan kegaduhan. Contoh kasusnya ketika Presiden keempat RI, Abdurahman Wahid yang bersiteru dengan Amien Rais. Pendukung masing-masing di akar rumput turut bersiteru.
“Pemimpin tidak boleh melakukan provokasi. Jika melakukan provokasi, sebenarnya dia adalah pemimpin yang jahat. Karena provokasi yang dia lakukan akan menimbulkan efek domino yang negatif di kalangan bawah. Jadi para pemimpin itu harus berhati-hati saat berbicara,” tegasnya.
Provokasi elit politik, kata ekonom senior ini, akan memunculkan isu SARA di media sosial. Pemimpin kelompok tengah, kelompok tertentu, dan orang-orang tertentu, seperti Denny Siregar, Ade Armando, Permadi Arya, adalah contohnya. Mereka yang tidak mengerti arti agama yang sesungguhnya tapi memprovokasi agama.
Di sisi lain, kata Didik, para pemimpin dan politikus senior tidak pernah memprovokasi. Diantara mereka sejatinya tidak ada permusuhan ideologis. Para pendengung di media sosial biasanya pelaku provokasi sebenarnya.
“Perbedaan antara politisi senior itu bisanya hanya kepentingan kekuasaan saja. Jadi yang memanas-manasi ya media sosial sama media. (her/din)