Jakarta (pilar.id) – Banyak spekulasi soal belum terbentuknya koalisi resmi Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS. Salah satunya karena tiga partai itu belum sepakat pendamping Anies Baswedan pada Pilpres 2024.
Belum sepakatnya tiga partai itu disinyalir karena NasDem ingin mendominasi koalisi yang akan dibentuk.
“NasDem terkesan ingin memaksakan cawapres pendamping Anies dari partainya. Ada dua nama yang dipaksakan NasDem untuk mendampungi Anies, yaitu Khofifah Indar Parawansa dan Andika Perkasa,” kata Pengamat Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga di Jakarta, Jumat (9/12/2022).
Menurutnya, upaya NasDem memaksakan cawapres dari partainya sulit diterima Demokrat dan PKS. Karena bagi dua partai ini, NasDem sudah mengusulkan capres dari partainya.
Oleh karena itu, NasDem seharusnya memberikan jatah cawapres kepada Demokrat dan PKS, selama sesuai dengan kriteria yang disepakati.
Demokrat dan PKS tampaknya wajar menolak cawapres dari NasDem karena perolehan kursi mereka pada Pileg 2019 tidak jauh berbeda.
“Karena itu, tidak boleh ada partai yang mendominasi dalam menentukan pasangan capres yang akan diusung,” kata dia.
Apalagi, lanjut Jamiluddin, cawapres yang ingin dipaksakan NasDem itu tidak istimewa, Khofifah dan Andika misalnya. Elektabilitas mereka relatif rendah. Bila salah satu di antara mereka dipaksakan menjadi pendamping Anies, tentu tidak akan membantu mengerek elektabilitas.
Di lain pihak, ada kader lain dari Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang elektabilitasnya jauh lebih baik dari Khofifah dan Andika. Namun NasDem terkesan mengabaikannya. Padahal hasil simulasi dari beberapa lembaga survei yang kredibel, pasangan Anies-AHY sangat kompetitif dan berpeluang besar menang pada Pilpres 2024.
Sementara kandidat dari PKS, Ahmad Heryawan (Aher), memang hingga saat ini elektabitasnya belum muncul. Karena itu, PKS tampaknya lebih realistis dan tahu diri sehingga tidak ngotot untuk mendapat jatah cawapres.
Jadi, bagi NasDem tidak ada alasan yang kuat untuk memaksakan Khofifah atau Andika menjadi pendamping Anies. NasDem tidak boleh tamak dengan memaksakan cawapres pilihannya yang memang tidak menjual.
“Jadi, NasDem lebih baik menyerahkan cawapres pendamping Anies kepada Demokrat dan dan PKS. Biarkan dua partai ini berembuk memutuskan cawapres selama memenuhi kriteria yang sudah disepakati,” ujar mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.
Dengan begitu NasDem sudah menganggap Demokrat dan PKS dalam kesetaraan. Prinsip ini yang kalau dilaksanakan, tentu koalisi NasDem, Demokrat, dan PKS akan segera terwujud.
Sebaiknya, jika NasDem tetap tamak dan ingin mendominasi, maka bersiaplah koalisi yang diharapkan hanya sebuah mimpi. Kalau hal itu terjadi, besar kemungkinan pendukung Anies akan marah kepada NasDem.
“Efek bumerang itu tentu tidak diinginkan NasDem. Sebab, keinginan NasDem mengusung Anies menjadi capres karena berharap dapat meningkatkan elektabilitas partainya. Hal itu kiranya pantas direnungkan petinggi NasDem,” katanya. (her/din)