Satu Januari pagi. Langit masih agak mendung. Sisa-sisa hujan semalam. Tanggal 1 Januari adalah repetisi yang menegangkan. Ada tanda tanya. Kita tak pernah tahu kesialan atau keberuntungan apa yang menanti di depan. Tapi repetisi ini seringkali menjemukan dengan prosesi yang sama: ada resolusi awal tahun, ada janji dan mungkin nazar yang kadang remeh.
Kita mengucapkannya lirih, menuliskannya di akun media sosial seakan-akan ini deklarasi yang penting untuk diketahui semua orang.
Mendadak 1 Januari menjadi klise. Tapi itu mungkin satu-satunya cara untuk membangun dan mereparasi harapan yang sempat rontok dan terseok pada tahun sebelumnya: membuat daftar keinginan, juga pekerjaan, yang harus kita selesaikan tahun ini.
Apa boleh buat: manusia mustahil menghasilkan mesin waktu yang bisa bikin kita seenaknya kembali ke masa silam dan memperbaiki yang koyak.
Saya memikirkan orang-orang yang ada dan hadir dalam hidup saya sepanjang tahun 2021. Mereka bisa saja musuh, kawan, saudara, anak, istri, atau rekan sekerja, maupun narasumber. Seberapa penting mereka, saya yakin kita tidak pernah membuat list atau daftar orang-orang dan seberapa penting mereka dalam hidup kita.
Kita membuat petisi, janji, itikad, atau apapun namanya, bahwa kita akan lebih baik daripada tahun sebelumnya.
Tahun 2022 lebih baik daripada tahun 2021. Kita berjanji tentang pencapaian: pekerjaaan, gaji, prestasi, cita-cita pernikahan, dan banyak lagi. Tapi kita selalu bicara tentang diri kita sendiri, kita tak pernah bicara tentang orang lain.
Orang lain tak masuk dalam petisi kita. Padahal, petisi kita, tentang perbaikan nasib kita, berhadapan dengan peluang dan kemungkinan-kemungkinan.
Kemungkinan-kemungkinan ini hadir acak, dan selalu dikonstruksi berdasarkan interaksi kita dengan yang lain. Saya jadi ingat teori chaos, butterflies effect: bahwa kepak sayap kupu-kupu di sebuah negara bisa menyebabkan dampak global bagi negara lain.
Kita tak hidup sendiri. Maka petisi atau janji kita di tahun baru ini akan selalu bicara tentang sesuatu yang jamak, tak pernah tunggal. Dan, jika saya harus menyusun daftar orang-orang yang hadir dalam hidup saya pada tahun 2021, maka saya akan meletakkan orang-orang kepada siapa saya berutang pada tempat teratas.
Utang di sini tak selamanya berupa materi atau uang, namun bisa janji. Bisa pula harapan, atau laku baik dan utang budi. Orang-orang ini, kepada siapa kita berutang, adalah orang yang memberikan kesempatan kepada kita untuk bertahan pada tahun 2021.
Tanpa kehadiran mereka ‘memberikan utang’ kepada kita, ada rantai yang hilang dalam hidup kita: mungkin kita tak akan melakukan tindakan yang lebih baik atau meneruskan hidup kita.
Marilah kita bayangkan: di saat kita tak punya uang untuk membeli nasi, seseorang datang meminjamkan uang. Kita membeli nasi, hari itu perut kita terisi, dan bisa bekerja lagi. Bagaimana jika tak ada orang yang bersedia meminjamkan uang kepada kita untuk membeli nasi?
Marilah kita bayangkan pula: saat kita menghardik bawahan kita atau membuat hati kita terluka atas silap yang kita perbuat, kita berutang maaf kepadanya. Bagaimana jika maaf itu tak juga terucap, dan kawan atau bawahan kita itu kelak turut andil dalam langkah kita?
Atau lebih maju lagi: jika saya seorang pemimpin yang menjanjikan kesejahteraan, rakyat banyak berharap, tapi saya belum bisa memenuhi harapan itu. Rakyat mengutangkan harapan kepada saya, agar saya bisa bertahan lebih lama. Bagaimana jika rakyat sudah bosan menitipkan harapan itu kepada saya?
Jadi, tak ada salahnya, mulai hari ini kita mulai menyusun daftar orang-orang kepada siapa kita berutang untuk mulai melunasinya tahun ini. Selamat tahun baru 2022.