Jakarta (pilar.id) – Kritik yang dilontarkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) melalui akun Twitter @BEMUI_Official pada Sabtu (20/5/2023) mengenai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menjadi tren di dunia maya. Mereka menulis, “Jokowi Milik Parpol Bukan Milik Rakyat”.
Hingga hari ini, Senin (22/5/2023) malam, twit ini sudah dilihat 712 ribu kali, 2.528 retweets, 327 quotes, 9.185 likes, dan 195 bookmark.
Dalam twit itu juga muncul narasi, “Jika Presiden Jokowi memang seorang pejabat publik yang sesungguhnya, maka sudah sepantasnya apa yang dia lakukan haruslah sesuai dengan kepentingan publik. Apa yang Jokowi lakukan dengan terang-terangan selama ini, sudah jelas sekali hanya mementingkan aspirasi dari partai politik tertentu”.
Menyikapi hal ini, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa partai dan rakyat tidak bisa dipisahkan.
“Partai dan rakyat adalah satu kesatuan,” tegas Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, pada Senin (22/5/2023). Ia juga menambahkan bahwa partai politik dan rakyat saling terkait satu sama lain. Anggota legislatif adalah perwakilan dari partai politik, dan partai politik adalah representasi dari rakyat.
Hasto menyatakan bahwa anggota legislatif sebagai wakil rakyat tidak hanya mewakili daerah pemilihannya saja, karena hal itu hanyalah cara untuk menentukan jumlah kursi di DPR.
“Namanya DPR RI, berasal dari partai politik, baik itu mekanisme pemilihan, pelatihan, dan pengkaderannya, tetapi setelah terpilih, mereka menjadi wakil rakyat seluruh Indonesia yang tidak bisa dibedakan berdasarkan pembagian daerah pemilihan,” ujarnya.
Hasto juga menambahkan bahwa Jokowi adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Setelah menjadi kepala negara, Jokowi menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.
“Beliau menjadi wakil seluruh rakyat Indonesia yang tidak bisa dibedakan berdasarkan pembagian daerah pemilihan. Oleh karena itu, ini merupakan bagian penting dari pendidikan politik bagi rakyat. Kita tidak pernah memisahkan-misahkan,” tambahnya.
Mengenai kebijakan pemerintah, Hasto menyatakan bahwa Jokowi tentu mendengarkan dan menjalankan platform dari seluruh partai politik pendukung.
Hasto memberikan contoh bahwa jika seorang presiden Amerika Serikat berasal dari Partai Republik, tidak mungkin ia akan menjalankan program yang diajukan oleh Partai Demokrat.
“Sementara kebijakannya ditentukan oleh kebijakan-kebijakan dari partai yang mengusungnya. Sama seperti di Amerika Serikat, ketika presiden berasal dari Partai Republik, mereka tidak akan mengusung platform dari Partai Demokrat. Tentu akan ada perbedaan sesuai dengan garis politik yang didasarkan pada konfigurasi ideologis yang ada. Di Barat, ada pusat, ada kiri, ada kanan,” ungkap Hasto. (hdl)