Jakarta (pilar.id) – Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia mencatat, Teluk Palu Sulawesi Tengah mengalami penurunan luasan lahan mangrove hingga 12 persen dari fase sebelum peristiwa tsunami pada 2015 silam. Pengurangan luasan ini mencapai 7,78 hektar.
Sebelumnya luas lahan mangrove di Teluk Palu yang meliputi Kabupaten Donggala dan Kota Palu mencapai 66,89 ha di tahun 2015, kemudian berkurang menjadi 59,11 ha pada 2019. Selain tsunami, ancaman dan gangguan terhadap keberadaan ekosistem mangrove adalah alih fungsi lahan dan pengembangan kawasan.
“Sebagian besar kawasan intertidal Teluk Palu berdekatan dengan jalur transportasi atau jalan darat provinsi. Umumnya pengembangan pemukiman dan pusat pertumbuhan berada di pinggir jalan,” ujar Direktur Eksekutif YKL Indonesia Nirwan Dessibali, di Jakarta, Kamis (28/7/2022).
Dari hasil studi YKL Indonesia bersama Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) pada tahun 2019, luas ekosistem mangrove di Teluk Palu mencapai 59,11 ha. Kabupaten Donggala adalah wilayah konsentrasi persebaran mangrove terbesar. Luasnya mencapai 58,21 ha atau 98% dari total luasan mangrove Teluk Palu.
Sisanya tersebar tipis di Kota Palu seluas 0,90 ha. Kawasan mangrove terluas di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala yaitu 57,97 ha. Sedangkan kecamatan pesisir lainnya di Teluk Palu memiliki luasan yang sangat kecil berkisar 0,02 ha – 0,83 ha saja. Ekosistem mangrove juga tersebar tipis di spot-spot kecil 4 kecamatan pesisir Kota Palu dan 2 kecamatan pesisir Donggala.
“Selain menambah luasan, penting untuk menjaga atau melakukan konservasi mangrove yang saat ini masih bertahan,” jelas Nirwan.
Sementara itu, Yayasan Kehati mencatat, terjangan tsunami memang beberapa Kali menerjang Teluk Palu pada tahun 1927, 1930, 1938, dan terakhir di tahun 1966. Fakta tersebut menggerakkan kepedulian Yayasan Kehati, YKL Indonesia, dan Yayasan Bonebula (YBB) untuk merestorasi ekosistem mangrove yang telah rusak.
Selain sebagai peredam tsunami, keberadaan mangrove diharapkan dapat mengembalikan keanekaragaman hayati. Terlebih, Direktur Eksekutif YBB Andi Anwar menyampaikan, peristiwa tsunami tahun 2018 lalu telah memberikan pembelajaran bahwa mangrove sangat tangguh meredam tsunami di berbagai wilayah Teluk Palu seperti Kelurahan Labuan Bajo, Tanjung Batu, Kabonga Kecil, Kabonga Besar, dan daerah lainnya.
“Berbagai wilayah yang ada ekosistem mangrove, ratusan rumah selamat dari terjangan tsunami,” kata Andi Anwar.
Senada, Manajer Program Ekosistem Kelautan Yayasan Kehati Toufik Alansar menyampaikan, pelibatan berbagai pihak dalam penanaman merupakan bagian dari upaya membangun kesadaran masyarakat untuk mendukung pelestarian kawasan mangrove. Toufik menjelaskan pentingnya penanaman mangrove dalam upaya mitigasi bencana dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Menurut dia, hutan mangrove di kawasan pesisir bisa menjadi sabuk hijau yang melindungi daratan dari terjangan gelombang tinggi, tsunami dan angin laut, serta abrasi. “Hal terpenting, program konservasi mangrove merupakan bagian dari program mitigasi perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon,” ungkapnya.
Karena itu, untuk melindungi dan melestarikan mangrove di wilayah Teluk Palu dan sekitarnya perwakilan pemerintah, non-governmental organization (NGO), komunitas, organisasi kampus, dan masyarakat menggelar penanaman bersama pohon bakau. Penamanan tersebut sekaligus dalam rangka memperingati Hari Mangrove Sedunia yang diperingati di berbagai belahan dunia setiap tanggal 26 Juli.
Ratusan peserta dari berbagai pihak dan pelajar Sekolah Dasar (SD) menanam 3000 bibit mangrove jenis Rhizopora stylosa, Rhizopora mucronata dan Rhizopora apiculata. “Kami rencanakan menanam 10.000 bibit di 10 hektar area terdegradasi Kelurahan Tanjung Bantu dan Kelurahan Kabonga Kecil,” imbuh Andi Anwar. (Akh/din)