Jakarta (pilar.id) – Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam tata kelola ekonomi dan keamanan di tengah era baru. Hal ini dibahas dalam diskusi berjudul Kontestasi Tata Kelola Liberal dan Keamanan: Kemanusiaan di Tengah Persimpangan Tata Kelola Dunia Baru, yang merupakan bagian dari rangkaian acara Dies Natalis Universitas Paramadina. Diskusi ini digelar di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina pada Rabu (20/12/2023).
Prof. Didin S. Damanhuri, Guru Besar Universitas Paramadina, mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini terjebak dalam middle income trap, di mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diimbangi dengan pemerataan hasil pembangunan.
“Pertumbuhan GDP yang hanya menjadi indikator tanpa memperhatikan pemerataan dapat mengakibatkan aliran sumber daya dan hasil pembangunan yang tidak merata, terutama dari daerah atau pedesaan ke kota-kota besar,” ujarnya.
Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas, Prof. Didin menjelaskan bahwa ada tiga model orientasi pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. Diantaranya adalah model pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan, model pertumbuhan ekonomi bersama pemerataan pada era Soeharto, dan model pertumbuhan ekonomi “at all cost” melalui privatisasi dan utang luar negeri serta pembangunan infrastruktur fisik.
Prof. Didin juga menggarisbawahi ketimpangan ekonomi yang terjadi di perkotaan dan perdesaan, diukur melalui rasio Gini pengeluaran. “Perubahan rasio Gini ini memiliki implikasi besar terhadap kebijakan ekonomi, khususnya dalam upaya mengurangi ketimpangan di Indonesia,” katanya.
Menyikapi kondisi ini, Prof. Didin menekankan perlunya perubahan orientasi pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan sosial. Dia juga menyoroti pentingnya perbaikan kelembagaan institusi sosial-ekonomi seperti BULOG, KPPU, dan KPK untuk menciptakan pasar yang lebih sehat.
Dalam pandangan Ahmad Khoirul Umam, Ph.D., Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy, dominasi Cina dalam perdagangan internasional memerlukan kewaspadaan. Umam mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami dependensi tinggi terhadap Cina, terutama dalam sektor komoditas seperti CPO, batubara, dan logam.
“Kita harus mengantisipasi situasi ini karena Indonesia sangat bergantung pada Cina. Meskipun Cina mengalami penurunan ekonomi pasca pandemi, dampaknya tetap signifikan bagi Indonesia,” ujar Umam. Ia juga menyoroti pentingnya diversifikasi ekonomi dan pembangunan perdagangan yang seimbang.
Diskusi ini juga melibatkan pandangan Dr. Mohammad Riza Widyarsa, M.Si., yang membahas isu-isu keamanan dan diplomasi dari sudut pandang Timur Tengah. Dr. Riza menyoroti kesinambungan dukungan Indonesia terhadap isu-isu Palestina, yang dipegang oleh presiden Joko Widodo. Proyeksi pasca pemilihan presiden 2024 juga mencakup upaya memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan memaksimalkan potensi ekonomi di Timur Tengah.
Diskusi ini memberikan wawasan mendalam tentang kompleksitas tantangan dan peluang yang dihadapi oleh Indonesia dalam mengelola tata kelola liberal dan keamanan di tengah dinamika dunia baru. (riq/ted)