Jakarta (pilar.id) – Sepertinya penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia sulit diungkap. Salah satunya adalah kasus pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965-1966. Dengan alasan tidak adanya bukti, pemerintah mengaku berat untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Hal itu diungkap oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD dalam siaran persnya, Selasa (1/11/2022).
“Untuk melakukan penyelesaian secara pengadilan kepada kasus-kasus HAM berat ini itu tak mudah,” kata Mahfud.
Selain itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini juga mengaku bahwa pelaku pelanggaran HAM berat itu sudah tidak ada. Hal itu semakin membuat sulit untuk kasus ini dibawa ke meja hijau.
Kendati demikian, ia tetap menilai kasus 1965 merupakan pelanggaran HAM berat karena telah menelan banyak nyawa. Mahfud juga bercerita bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat meminta semua kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Komnas HAM dibawa ke pengadilan.
Namun, Mahfud menyebut Jaksa Agung tidak sependapat karena tak ada bukti untuk ditunjukkan di pengadilan.
“Kalau saya bawa ke pengadilan, sesuatu enggak ada buktinya berarti tak profesional, malu kami kalau dibawa ke pengadilan. Karenanya berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk cocokkan bukti,” kata dia.
Melihat rentetan problem itu, Mahfud lantas menilai penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu lebih baik diupayakan lewat nonyudisial.
“Akan tetapi, jalur yudisial tetap jalan biar Komnas HAM, DPR dan Jaksa Agung terus bekerja. Kita tak akan menutup kasus,” tutupnya. (her/din)