Semarang (pilar.id) – Simak sejarah tentang wedang ronde yang ternyata ada hubungannya dengan tradisi perayaan Imlek di Indonesia dan China.
Wedang Ronde begitu melegenda di Indonesia bahkan di Jawa sebab sebagai minuman penghangat kala musim hujan atau dingin melanda.
Tahukah kalian jika wedang ronde sebenarnya bukan minuman asli atau khas dari Jawa namun ternyata berasal dari China.
Berikut adalah sejarah wedang ronde masuk Nusantara, merupakan minuman para dewa saat Imlek tiba.
Wedang ronde dalam sejarah Imlek menjadi hidangan para dewa di altar klenteng saat perayaan tahun baru China itu.
Hingga saat ini wedang ronde juga masih menjadi hidangan wajib bagi para dewa China saat Imlek tiba.
Jika menilik altar di klenteng, maka minuman hangat wedang ronde dengan aroma jahe, terselip diantara aneka buah-buahan, aneka kembang dan jenis makanan lainnya sebagai persembahan kepada para dewa.
Sejarahwan Tionghoa asal Semarang, Jongkie Tio, mengatakan jika wedang ronde, masuk ke Nusantara pada tahun 400 Masehi, dibawa oleh para saudagar pedagang dari China.
Di katakannya, wedang ronde sangat termasyhur di China, dimana dengan rasa hangat di badan, menjadi populer saat musim dingin tiba.
Saat musim itu, kata Jongkie Tio, masyarakat Cina sangat khawatir dengan hawa dingin yang melanda.
Masyarakat kemudian membuat racikan dari bulatan ketan dan gula lalu dicampur dengan air jahe panas agar hangat saat diminum.
“Hawa dingin dilawan dengan wedang ronde sebagai penghangat badan saat itu, dalam perayaan Imlek bagi warga China,” katanya.
Secara penanggalan, musim dingin di China juga bertepatan dengan jatuhnya tahun baru Imlek.
Maka dari saat itu, kata Jongkie, masyarakat Cina lalu memberikan sesajian kepada para dewa saat Imlek.
Guna meminta pertolongan agar Tuhan memberikan keselamatan saat musim dingin tiba.
“Imlek di Cina itu pas musim dingin, jadi dewa juga diberi sesajian minuman penghangat agar permintaan dapat disampaikan ke Tuhan untuk dikabulkan dari bahaya musim dingin,” katanya.
Sementara, sejarah wedang ronde sampai di Nusantara pun cukup panjang.
Jongkie Tio mengatakan, wedang ronde tiba sejak tahun 400 Masehi, dimana saat para saudagar China menginjakan kaki di tanah Aceh, Banten, dan Jawa.
Sementara, di Indonesia musim dingin identik dengan musim penghujan yang akan turun dengan intensitas tinggi saat Imlek tiba.
“Hawa di Nusantara hampir sama dinginnya di China, maka para saudagar itu juga memperkenalkan wedang ronde pada masyarakat lokal,” katanya.
Wedang ronde dapat diterima oleh masyarakat lokal Nusantara karena bahan baku yang sesuai.
Lantaran terbuat dari bahan ketan dan gula, halal bagi masyarakat lokal yang menganut Islam. Juga bahan dasar itu mudah ditemui.
“Jaman itu hubungan dagang dengan kerajaan Nusantara yang Islam, jadi wedang ronde mudah diterima. Jadilah minuman akulturasi, asal China cita rasa Indonesia,” tuturnya.
Wedang ronde yang ada saat ini pun tak jauh beda dengan daerah asalnya.
Berisi bulatan ketan yang berwarna merah, hijau, dan putih dengan di dalamnya juga diberi gula merah.
Sebagai penghabat, ada air gula dan air jahe. Sedikit variasi, di Indonesia diberi taburan kacang tanah, roti, dan kolang kaling.
“Kalau di China namanya tengyuan, sampai Nusantara wedang ronde, bahan baku sama hanya sedikit tambahan taburan kacang, roti dan kolang kaling,” katanya.
Sementara, wedang ronde atau tengyuan memiliki arti filosofi tersendiri. Sampai sekarang masih dianut oleh masyarakat Cina maupun peranakannya di Nusantara.
Terdiri dari tiga bulatan ketan, bulatan warna merah dengan harapan memperoleh keberanian menghadapi musim dingin.
Bulatan warna hijau agar memperoleh karunia dan kebahagiaan.Bulatan ketan putih simbol hati menjadi bersih.
“Saat pengharapan itu sudah diraih, lalu sebarkan hasilnya dengan ucapan yang manis, yang disimbolkan gula di dalam bola-bola ketan itu,” katanya.
Air jahe yang hangat sendiri diartikan sebagai rasa penghangat dalam mengahadapi musim dingin atau hujan.
Dalam penyajiannya, Wedang Ronde disajikan dalam mangkuk yang bulat dengan cara diaduk lebih dahulu agar menyatu rasa dan kehangatannya.
Kenapa berbentuk bulat dan disajikan di dalam mangkuk.
“Bulat adalah simbol keakraban, istilah Jawa yang mewakili ungkapan itu adalah guyub,” katanya.
Wedang ronde atau tangyuan menjadi salah satu sajian wajib saat perayaan Cap Go Meh atau 15 hari setelah Imlek. (Aam)