Tangerang (pilar.id) – Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf mengkritisi putusan Pengadilan Negeri (PN) Tangerang yang mengesahkan pernikahan beda agama. Menurutnya, pernikahan beda agama bertentangan dengan konstitusi dan ajaran agama.
Bukhori juga mengingatkan kepada PN Tangerang agar tidak gegabah menerbitkan putusan dengan maksud melegalisasi pernikahan beda agama. Sebab, selain merendahkan, pernikahan beda agama juga dapat merusak ajaran Islam.
“Tindakan itu adalah bentuk pembangkangan terhadap negara,” tegas dia.
Bukhori menjelaskan, dalam Pasal 28J UUD 1945 ayat (2) menyebutkan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
“Artinya HAM dalam perspektif konstitusi kita tidak bermakna liberal. Dia dibatasi oleh pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum,” kata Bukhori, di Jakarta.
Sementara, dalam Pasal 2 UU No.1/1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa terdapat dua syarat sahnya perkawinan, yaitu dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Selanjutnya di dalam Pasal 8 huruf (f) disebutkan secara eksplisit, perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
“Dengan begitu, putusan pengadilan yang mengesahkan nikah beda agama dengan dalih HAM sesungguhnya telah menyalahi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.
Selain itu, dia menilai nikah beda agama bertentangan dengan ajaran Islam. Setidaknya ada dua surat dalam Alquran yang menyinggung larangan melaksanakan pernikahan dengan pihak yang berlainan agama, yaitu Surat Al-Baqarah Ayat 221 dan Surat Al-Mumtahanah Ayat 10.
Dalam Surah Al-Baqarah, Allah memerintahkan agar laki-laki beriman tidak menikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Begitupun sebaliknya, perempuan yang beriman dilarang untuk dinikahkan dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. “Sementara dalam Surah Al-Mumtahanah ditegaskan, tidak halal hukumnya perempuan mukmin menikah dengan orang kafir,” jelas dia.
Politikus PKS ini menambahkan, Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke VII pada Juli 2005 lalu, telah menerbitkan Fatwa No. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Fatwa tersebut menetapkan perkawinan beda agama hukumnya adalah haram dan tidak sah.
Dalam pertimbangannya, MUI menilai perkawinan beda agama mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, serta menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Di samping itu, ada kekhawatiran terhadap munculnya pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih HAM dan kemaslahatan.
“MUI memandang, penerbitan fatwa adalah untuk memelihara ketenteraman kehidupan rumah tangga,” jelas Bukhori.
Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang kedudukannya tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 meskipun tidak bersifat mengikat, perkawinan beda agama juga diatur secara spesifik dalam Buku I tentang Hukum Perkawinan Bab VI tentang Larangan Kawin. Misalnya di Pasal 40 huruf (c) disebutkan, larangan melangsungkan perkawinan antara pria dan wanita dalam keadaan tertentu, salah satunya apabila wanita tersebut tidak beragama Islam.
Selanjutnya di dalam Pasal 44 secara tegas dinyatakan seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
“Atas dasar itu, kami memandang pernikahan beda agama tidak dapat dibenarkan perbuatannya karena melanggar hukum negara dan hukum agama. Karena itu kami mengimbau khususnya kepada umat Islam untuk teguh dalam mengamalkan ajaran Islam yang telah diyakini kebenarannya dan tunduk pada hukum negara,” sambungnya. (Heaach/fat)