Jakarta (pilar.id) – Asumsi dasar ekonomi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 dinilai tidak realistis. Pemerintah telah mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 5,9 persen dan inflasi berkisar 2,0-4,0 persen year on year (yoy).
“Target yang terlalu optimis dan sangat tidak realistis,” kata pengamat kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat MPP, di Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Hadirnya risiko perang berlarut akan membawa ekonomi global yang diprediksi mengalami penurunan. Bahkan, laporan terbaru Bank Dunia memproyeksikan ekonomi global hanya akan tumbuh 2,9 persen tahun 2022, lebih kecil dari 5,7 persen pada 2021. Angka tersebut 1,2 poin persentase lebih rendah dari perkiraan pada Januari 2022.
“Tahun 2023 malah dunia dihantui stagnan dalam pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi. Keduanya terjadi bersamaan di tahun 2023 sehingga disebut tahun stagflasi,” kata Achmad.
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan berada di sekitar level 3 persen pada tahun 2023 hingga 2024 mendatang. Narasi Institute sendiri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 tidak jauh berbeda dengan 2022 yaitu hanya sekitar 5,1 persen. Namun inflasi 2023 akan melambung tinggi dilevel 4,0-6,0 persen tahun depan.
Nilai tukar rupiah diperkirakan akan berkisar Rp15.050 per Dollar AS. Tingkat bunga SUN 10 tahun di kisaran 7,5-10,5 persen, dan harga minyak mentah Indonesia di kisaran 120 Dollar AS per barel.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, asumsi pertumbuhan ekonomi 2023 masih overshoot. Ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4 sampai 4,5 persen pada 2023.
“Karena masih terdapat risiko eksternal seperti sinyal resesi dari AS, tingkat kenaikan suku bunga yang meningkatkan cost of fund pelaku usaha, serta inflasi energi dan pangan seiring belum dipastikan kapan perang Ukraina berakhir,” jelas Bhima.
Menurut Bhima, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sampai 5,9 persen, prasyaratnya adalah stimulus fiskal harus jor-joran, serta belanja subsidi energi wajib diperlebar. Begitu juga dengan pajak perlu direlaksasi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh 5,9 persen lalu mengejar rasio pajak di kisaran 10 persen.
“Mana yang pemerintah mau pilih, dorong penerimaan negara atau ekonomi tumbuh lebih tinggi dari 2022,” kata Bhima.
Selain itu, lanjut Bhima, belanja pemerintah pada tahun depan terbagi ke dalam belanja kebutuhan pemilu, belanja rutin yakni belanja pegawai dan barang, serta belanja program pembangunan infrastruktur. Saat ini, pekerjaan rumah (PR) terbesar pemerintah bukan soal tumbuh tinggi, tapi bagaimana dengan kesiapan motor fiskalnya.
“Pertumbuhan tinggi juga berisiko overheating, kalau tidak dibarengi anggaran yang cukup untuk pengendalian inflasi,” katanya. (ach/hdl)