Jakarta (pilar.id) – Pengamat kebijakan publik Narasi Institut Achmad Nur Hidayat merasa janggal dengan cadangan beras pemerintah yang hanya tinggal 220 ribuan ton. Padahal, saat ini tengah musim panen. Ia mencurigai, ada unsur kesengajaan agar Indonesia bergantung pada impor.
“Dan lebih janggal lagi jika musim panen harga beras menjadi tinggi. Ini patut dicurigai, seolah-olah ada pengkondisian agar Indonesia selalu tergantung dengan impor beras,” kata Achmad, di Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Madnur, panggilan akrab Achmad Nur Hidayat, menduga ada permainan kartel yang menginginkan adanya impor beras untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, bukan berasal dari penyerapan beras petani. Menurutnya, hal itu tak boleh terjadi lagi. Karenanya, Indonesia perlu membangun kemandirian pangan agar tak bergantung pada impor.
“Sangat memalukan jika Indonesia yang wilayahnya subur tapi impor terus, sehingga menjadikan Indonesia seperti bangsa yang tidak bersyukur. Tanahnya subur, tapi pertaniannya impor,” kata Madnur.
Menurut Madnur, tantangan yang dihadapi Indonesia dan dunia ke depan adalah masalah pangan. Pemerintah tidak bisa lagi membuat kebijakan yang sifatnya pemadam kebakaran saja. Kemandirian pangan jauh lebih penting dibandingkan menyelesaikannya selalu dengan cara impor.
“Bagaimana petani mau sejahtera, ketika panen bukannya menyerap beras petani, tetapi pemerintah mau impor lagi 2 juta ton,” kata dia.
Sebelumnya dilaporkan, pemerintah akan membuka keran impor beras sebanyak 2 juta ton sampai dengan akhir tahun 2023. Kebijakan itu tak terlepas dari stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang semakin kritis. Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso (Buwas) mengatakan, stok beras Bulog hanya bersisa 230 ribu ton per 20 Maret 2023. Padahal, saat ini sejumlah sentra padi sedang masuk puncak musim panen.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan meminta pemerintah selalu waspada terhadap ancaman gagal produksi pangan akibat faktor iklim. Menurutnya, mulai akhir Maret hingga pertengahan Agustus 2023 iklim masih normal. Setelah itu, iklim mulai memasuki El Nino atau kemarau berkepanjangan yang menyebabkan produksi padi turun dengan kisaran 5 persen.
“Kewaspadaan pangan yang dibuat pemerintah tidak boleh dengan cara impor beras dan impor pangan lainnya. Impor ini harus dibatalkan demi membuat petani kita lebih bergairah dan bersemangat di tengah ancaman cuaca yang tidak menentu,” ucap Johan.
Johan merasa aneh, karena Pemerintah selalu mengklaim bahwa produksi aman dan cukup. Namun, pemerintah berencana impor beras 2 juta ton pada tahun ini. “Pemerintah jangan menjadikan ancaman cuaca ekstrem sebagai pembenaran untuk melakukan impor,” kata dia. (ach/hdl)