Lebih dari sekali, aku menerima pertanyaan yang sama. Karena lebih dari sekali, maka sah kiranya kukatakan, pertanyaan itu telah disampaikan secara berulang-ulang. Baik oleh satu orang yang sama, atau beberapa orang yang berbeda. Sebagian sudah lama kukenal, sebagian lain, mereka yang baru-baru saja berkenalan.
“Bagaimana caranya supaya suka membaca?”
Itulah inti pertanyaan tersebut. Redaksinya tentu berbeda-beda tiap orang. Dan kukira kalian, para sidang pembaca yang budiman, juga tak mau tahu secara lebih detil diksi perdiksi, kata per kata sampai huruf perhuruf hingga berapa banyak typo yang ada ketika mereka bertanya melalui pesan singkat. Jadi, tak perlulah kutuliskan satu-satu hanya untuk memenuhi prasyarat nafsu otentifikasi bukti.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan demi menunjukkan tingkat intelektualitas diri yang tinggi, aku selalu mencoba memberi jawaban yang memuaskan. Selain sebagai bentuk pengukuhan diri sebagai lelaki pemuas segala wanita. Meski sebenarnya, itu demi profesionalisme belaka sebagai pengangguran terdidik yang, sekarang, rakus mengoleksi buku. Mulai dari beli asli, replika sampai mencuri. Terutama jika meminjam tanpa mengembalikan bisa dibilang pencurian. Ha, gimana lagi, terlanjur sayang.
Jawaban itu setidaknya seperti ini; ada banyak alasan untuk membaca buku. Begitu pula cara untuk suka baca buku. Setiap orang, pasti punya alasan dan cara yang berbeda. Beberapa mungkin sama, tapi tidak mungkin dipaksakan sama.
Aku, secara pribadi punya dua alasan; suka dengan bahasan yang ditulis, dan karena rasa penasaran terhadap sesuatu. Misalnya, ketika dulu aku suka membaca karya-karya Kahlil Gibran, adalah karena aku suka dengan puisi. Terkhusus puisi bernada sufistik seperti yang digubah Kahlil. Karena aku suka dengan cara menulis dan apa yang ditulis, aku bisa membacanya sampai lupa waktu.
Sedangkan ketika membaca Negeri Lima Menara karangan Ahmad Fuadi, lebih besar karena aku sedang penasaran dan tertarik dengan Pondok Pesantren Gontor, yang menjadi latar cerita. Begitu pula ketika aku membaca secara marathon Tetralogi Buru secara terbalik. Dimulai dari Rumah Kaca dan berakhir di Bumi Manusia. Untuk teknik membaca dari terbitan paling belakang ini tidak ada maksud. Hanya karena secra kebetulan buku-buku itu kutemukan berurutan seperti itu. Tidak lain.
Jawaban dan penjelasan di atas, yang selalu aku berikan ke setiap kawan yang bertanya. Berulang-ulang. Aku menyarankan untuk memulai dari membaca hal-hal yang mereka sukai. Kalau tidak dari hal yang sangat mereka ingin tahu. Menumbuhkan rasa penasaran dan membayarnya melalui bacaan.
Kemudian hari, ketika aku sudah semakin rakus membaca buku, aku menemukan lebih banyak alasan lain. Rasa penasaran, tetap menjadi panglima utama. Tetapi polanya berkembang. Dulu, aku membaca demi memenuhi dahaga penasaran terhadap hal-hal yang aku tidak tahu.
Contohnya, selesai membaca Rumah Kaca, aku penasaran dengan tokoh Minke, dengan sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan. Akhirnya, aku memburu semua rangkaian Tertalogi Buru. Ditambah semua buku tentang sejarah. Rumah Kaca, membuatku menjadi penyuka sejarah.
Setelah itu, rasa penasaran berkembang ke para penulis. Setiap kali dikenalkan atau mengetahui review ‘baik’ tentang penulis baru maupun lama, aku mengejar karya-karya mereka. Ketika suatu kali teman diskusiku yang baru berkenalan beberpa minggu mengenalkan Y.B. Mangunwijaya, misalnya, aku langsung memburu bukunya. Seperti cacing kepanasan, aku tak bisa tenang sebelum menemukan, membeli, membaca dan menyimpan bukunya. Kalau perlu, aku bisa menghalalkan segala cara. Pinjam, curi, atau cari KW. Itu sudah sesuai urutan prioritas cara mendapatkan.
Setidaknya, sudah lima tahun aku, yang dulunya selalu tertidur setelah membaca satu paragraf halaman buku, menjadi pembaca buku dan kolektor yang rakus. Tentu kriteria rakus ini sangat subyektif berdasar kemampuanku sendiri.
Dan sekarang, aku sadar bahwa buku adalah candu. Ia seperti narkoba. Dan aku sudah merasa seperti seorang pecandunya. Buku yang dulu kubeli hanya karena asal dan suka mengumpulkan tanpa membaca belaka, kini menjadi kebutuhan dasar yang harus selalu tersedia.
Seminggu saja tak membaca buku, aku bisa menjadi linglung. Seperti seorang pecandu narkoba yang bisa gelisah dan tak jenak sebelum ia kembali mengonsumsinya. Menjadi pecandu buku, berarti harus merelakan sekian jam waktunya untuk bercumbu dengan buku. Menyediakan waktu tersendiri untuk menyelami kata demi kata, huruf demi huruf dan lembar demi lembar kertas.
Yang berarti juga, harus rela juga menyediakan sekian rupiah dari pendapatan yang gak jelas nominalnya itu, untuk membeli buku. Masalahnya kemudian, seperti yang kita tahu bersama, harga buku tidaklah murah. Lebih-lebih jika penulisnya adalah penulis pilih tanding dengan karya-karya yang dinilai punya kualitas. Tipis saja, tak lebih tebal dari dua iPhone 5s yang ditumpuk jadi satu, harganya bisa mencapai Rp 80 ribu. Delapan puluh ribu, jeh. Itu bisa buat enam kali makan. Sama dengan jatah makan tiga hari dengan siklus dua kali makan sehari.
Maka, berayukurlah kalian yang gak suka baca buku. Kalian tetap bisa bergaya dengan sering-sering ke perpustakaan sebagaidalih mencoba mencintai membaca buku, juga bisa membawa buku ber-barcode perpustakaan ke sana ke mari, mencitrakan diri sebagai pecinta literasi. Dan tentu saja, lebih hemat. Gak perlu beli, juga gak perlu buang waktu untuk benar-benar membaca. Karena, toh sehalaman saja sudah bisa bikin tidur. Atau sekadar membaca secukupnya untuk dicomot di makalah, skripsi atau esai. Biar nampak intelek.
Sudahlah, berbahagia saja jika kalian tidak suka baca buku. Karena selain lebih hemat, kalian bisa terbebas dari dosa candu. Sebab, bukankah setiap yang memabukkan dan membuat ketagihan itu dosa, sekecil apapun kadarnya?