Jakarta (pilar.id) – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah saat ini masih memformulasikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 berdasarkan masukan-masukan yang diterima dari berbagai pihak.
“Penetapan UMP pada 21 November 2023 masih diformulasikan, sekarang dalam proses pembahasan oleh Dirjen PHI Jamsos (Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan),” kata Ida dalam keterangannya, Selasa (8/11/2022).
Ida mengungkapkan, masukan-masukan untuk memformulasikan UMP 2023 tersebut diterima dari kalangan serikat pekerja, buruh, pengusaha, dan para pemangku kepentingan terkait.
“Kami sudah mendengarkan masukan dari semua pihak, tugas kami sekarang adalah memformulasi pandangan-pandangan tersebut,” ujarnya.
Dewan Pengupahan Nasional telah mencapai beberapa kesepakatan terkait Upah Minimum 2023, termasuk penetapan untuk UMP dilakukan paling lambat 21 November 2022 dan UMK pada 30 November 2022.
UMP 2023 juga akan ditetapkan menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja.
Inflasi merupakan salah satu komponen dalam penetapan UMP bersama dengan beragam faktor lain termasuk pertumbuhan ekonomi.
Pekan lalu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Menaker. Dalam aksi ini, salah satu tuntutan yang diusung huruh yaitu terkait kenaikan UMK 2023 sebesar 13 persen. Dasarnya inflansi dan pertumbuhan ekonomi.
“Kami menolak PP 36 yang merupakan aturan turunan dari omnibus law yang sudah dinyatakan MK cacat formil. Oleh karena itu harus menggunakan PP 78,” kata Said.
Ia menjabarkan dasar permintaan kenaikan upah 13 persen tersebut, yaitu inflansi Januari -Desember yang diperkirakan sebesar 6,5 persen. Ditambah pertumbuhan ekonomi, prediksi Litbang Partai Buruh adalah 4,9 persen.
“Jika jumlah, nilainya 11,4 persen, Kami tambahkan alfa untuk daya beli sebesar 1,6 persen.Sehingga kenaikan upah yang kami minta adalah 13 persen,” tegasnya. (her/din)